Manuver partai politik dalam menjalin perkubuan gunamendapat “peran” di panggung Pilpres 2014 kian menunjukkan anomali. Sekalipun nampak lebih cair, penguatan pada dua poros besar (Jokowi dan Probowo) cukup menimbulkan paradoks dan kontradiksi.

Sebagai ilustrasi, hingga tulisan ini diudarakan, Jokowi santer diberitakan akan meminang Jusuf Kalla (JK) sebagai cawapres. Sementara Prabowo menjatuhkan pilihan untuk menggandeng Hatta Rajasa sebagai patner politiknya.

Maka peta kekuatannya adalah gerbong Jokowi diperkuat PDI-Perjuangan, P. Golkar (belum jelas betul), PKB dan P. NasDem di satu sisi. Sementara Prabowo diusung gabungan P. Gerindra, PAN, PKS dan PPP di yang sisi lain. Lalu kira-kira bakal kemana P. Demokrat? Nampaknya masih sumir dan tak terdeteksi.

Sementara menunggu kepastian kemana partai “binaan” Presiden SBY berlabuh, bisa dikatakan bahwa koalisi yang sejauh ini terbangun sudah tidak lagi malu-malu menerabas batas ideologi dan terkesan melupakan sejarah.

Pertama, dari susunan potensi koalisi di atas, nampak jelas bahwa  jalinan dan fondasi koalisi lebih condong menguat karena dorongan kepentingan  pragmatis kekuasaan semata ketimbang kesamaan platform dan irisan ideologi yang diyakini.

Perhitungan matematis -kalkulasi suara pileg dan hasil survei capres- menjadi satu-satunya pertimbangan rasional dalam melatari “kawin paksa” antar parpol tersebut. Prinsip kesepahaman arah dan strategi mengelola negeri ini menjadi sesuatu yang gampang dikompromikan. Bisa jadi barangkali memang ideologi sudah mati dalam politik hari ini? Entahlah, siapa pula yang peduli?

Kedua, Sekalipun Bung Karno pernah berpesan untuk tidak sepintas pun melupakan sejarah (Jasmerah), nampaknya parpol hari ini lebih suka menjadi amnesia demi terwujudnya mimpi berkuasa. Batas antara kawan dan lawan menjadi begitu tipis dan pura-pura.

Tak perlu jauh-jauh mengingat kebelakang hingga era orde baru atau lama, tentu kita masih ingat bahwa Megawati pernah berpasangan dengan Prabowo di pemilu sebelumnya (2009). Waktu itu tentu mereka saling memuji dan membela satu sama lain. Sementara parpol lain menghujat dengan isu HAM dan penjualan aset negara (sekarang dua isu ini menjadi “titik tembak” masing-masing kubu).

Kita ingat pula saat Prabowo dan Jokowi begitu “mesra” pada Pilkada DKI beberapa waktu lalu. Sementara parpol-prpol Islam kompak menolak pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDI-P dan P. Gerindra waktu itu dan “mengeroyok” ramai-ramai dengan isu SARA. Tak jarang dalam pemilukada di daerah lainnya parpol-parpol yang “bertikai” saat ini pun tergabung dalam koalisi yang bahkan didorong restu pimpinan pusat.

Begitu pun selama pileg kemarin, parpol-parpol saling unjuk kebobrokan lawan. Menjelekkan tokoh, caleg ataupun capres lain diluar kelompoknya. Seolah dengan pongah mengharamkan lian dan menyucikakan diri serta golongannya. Lalu kini setelah angin berbalik arah, siapapun bisa berhimpun dalam satu atap.

Memang demikian ini jamak terjadi dan dilakukan oleh -bisa dikatakan- seluruh parpol peserta pemilu. Saling menjatuhkan di satu momen pemilu, kemudian saling menguatkan di pemilu selanjutnya.  Dalam demokrasi multilevel dan multipartai yang berlaku di negeri ini, hal-ikhwal demikian menjadi keniscayaan yang -terpaksa- lumrah.

Realisme Politik

Bagaimanapun politik selalu bisa menunjukkan wajah asli lakon di dalamnya. Wajah yang selalu tak pernah bisa menolak empuknya kursi peraduan, yang selalu haus akan kekuasaan dan yang selalu rela bertaruh apapun demi peruntungan.

Bagi parpol, prinsipnya sederhana saja. Adalah penting untuk bisa terus mendapatkan kue dalam sebuah hajatan. Bila tidak bisa memperoleh seluruhnya, maka sepotong pun tidak mengapa. Tapi jika sepotong pun terlalu sulit, maka sekedar remahnya pun tak jadi soal. Asalkan tetap bisa mencicipi manisnya kue yang diperebutkan.

Tak peduli apakah harus menginjak kepala kawan sendiri, menguliti borok tetangga bahkan bila harus berkawan dengan lawan bebuyutan pun tak perlu jadi soal. Segala upaya harus diupayakan. Pokoknya demi kekuasaan, apapun menjadi pantas dilakukan.

Karenanya masyarakat pemilih perlu sedikit berpikir waras dalam menyikapi setiap bentuk kampanye hitam berkedok HAM, SARA atau fitnah lainnya sekalipun. Tak perlu terlalu reaksional dalam menanggapi isu dan gosip murahan yang beredar.

Toh, itu hanya bersifat kepentingan sesaat. Tidak betul-betul menjadi isu strategis yang ingin ditegakkan. Malah dalam kondisi perpolitikan yang kian bias saat ini, tak  jarang isu negatif diam-diam sengaja dihembuskan oleh kubu masing-masing untuk mendulang empati dan popularitas sebagai pihak yang terdholimi.

Bagaimanapun rekam jejak, integritas, nilai-nilai pribadi (self values)  dan prestasi kerja seorang capres adalah modal bagi masyarakat pemilih untuk menarik pertimbangan yang lebih rasional dan terukur. Selektif menyaring informasi bermuatan politis yang berhamburan di media massa maupun sosial menjadi sesuatu yang niscaya -kalau tidak mau menjadi korban politisasi sesaat. Wallahu’alam bi al showab….