Perkembangan ilmu pengetahuan modern yang dilokomotifi peradaban barat terasa kian kering, parsial dan mekanistis. Karenanya alam semesta dan seisinya (termasuk juga di dalamnya manusia) dipandang tak ubahnya hanya  sebagai mesin mekanis.

Dengan paradigma ilmu pengetahuan yang bercorak Cartesian yang berkembang saat ini, dimensi spiritual semakin tak mendapat tempat dan justru kian terpinggirkan. Metode berpikir empirisme yang diperkenalkan Rene Descartes dalam bukunya yang bertajuk Discourse on Method seolah menjadi satu-satunya pisau analisis yang sahih dalam mencari kebenaran (ilmu pengetahuan).

Dominasi ilmu pengetahuan yang kebarat-baratan ini, sayangnya, menjadi semakin tak terbantahkan dengan didukung praktik penyimpangan sejarah ilmu pengetahuan yang ditengarai dilakukan oleh para ilmuwan barat. Distorsi historis yang dimaksudkan adalah bahwa terdapatnya banyak “pelenyapan” prestasi dan temuan-temuan ilmiah para sarjana muslim di satu sisi, serta klaim teori yang dilakukan oleh para ilmuwan barat di sisi lain.

Padahal pada abad pertengahan ini, dimana peradaban Islam berada pada puncak pencapaian intelektualnya, bangsa Eropa justru sedang bergulat dengan apa yang dikenal sebagai zaman kegelapan. Zaman dimana masyarakat Eropa kehilangan kebebasan berpikirnya yang mengakibatkan mandegnya budaya kritis dan intelektual.

Justru ketika masyarakat Eropa mulai “bersentuhan” dengan peradaban Islam, yang kala itu mulai memasuki benua Eropa melalui Granada (Spanyol), kebuntuan tersebut perlahan pecah. Dan berujung pada terbitnya era renaisans yang melahirkan banyak tokoh dan ilmuwan barat.

Namun demikian dikarenakan kentalnya sentimen agama di kedua peradaban tersebut, antara Islam dan barat (Khatolik), kontribusi para intelektual muslim klasik tak pernah diakui secara fair. Bahkan terkesan sengaja “dilenyapkan” dari sejarah.

Karenanya tokoh-tokoh besar dan intelektual muslim, beserta karya-karyanya monumentalnya, tak banyak dikenal masyarakat dunia secara luas, bahkan oleh kalangan muslim sendiri. Tokoh-tokoh intelektual muslim tersebut diantaranya seperti Ibnu Sina, Al Battani, Ibn Al-Haitsam, Jabir bin Hayyan, Al Biruni, Al Khawarizmi, Ummar Khayyam, Nashir Al-Din Al-Thusi dan Al Razi.

Melalui kegelisahan dan semangat perlawananan terhadap penyimpangan sejarah tersebut, buku ini terlahir. Seolah menjadi sebuah ensiklopedia ilmu pengetahuan pada era peradaban Islam klasik, buku yang juga kental dengan muatan filsafat (Islam) ini memaparkan secara terang berbagai fakta menarik terkait berbagai prestasi dan teori ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para intelektual muslim klasik. Meski demikian, dengan gaya penulisan yang ringan membuat buku ini sangat mudah dipahami, bahkan oleh masyarakat awam sekalipun

Salah satunya adalah ketika menggambarkan sosok seorang Al Biruni, dikenal sebagai ilmuwan eksperimentalis terbesar dunia, yang dengan segala keterbatasannya di abad ke-11 mampu menghitung keliling bumi dengan prosentase ketepatan sebesar 99,62 persen dibanding perhitungan modern.

Hasil perhitungan Al Biruni adalah 40.225 km sedangkan perhitungan modern mencatat keliling bumi sebesar 40.074. Padahal pada masa ini, di hampir seluruh belahan bumi lain masih memperdebatkan bagaimana bentuk bumi itu sebenarnya, bulat atau datar. Namun sayang dikarenakan penyimpangan sejarah ini, buku-buku teks ilmu pengetahuan tak pernah mencantumkan temuan besarnya tersebut hingga hari ini.

Selain penjelasan mengenai berbagai prestasi yang ditorehkan para intelektual muslim klasik, buku ini juga mengungkap semangat dasar yang diusung oleh Islam, sehingga mampu melahirkan salah satu peradaban terbesar dunia dengan tradisi intelektual di dalamnya.

Tak kalah penting dan mendesak adalah terkait pandangan-dunia tauhid para intelektual muslim klasik dalam memandang dan mengkaji alam semesta. Berbeda dengan paradigma empirisme buta yang dikembangkan para ilmuwan dan intelektual barat, pandangan-dunia tauhid memandang fenomena alam secara utuh, holistic, autentik, dan penuh makna (kualitatif).

Hal inilah yang salah satunya menyebabkan para intelektual muslim tersebut dikenal tidak hanya ahli dalam satu bidang keilmuan saja. Namun mereka menekuni berbagai disiplin ilmu secara bersamaan, baik yang bersifat fisik maupun metafisik.

Disinggung pula terkait etos keilmuwan yang dikembangkan oleh para intelektual muslim klasik, yang diantaranya adalah kecintaan terhadap kebenaran universal, kebebasan dan kemerdekaan berpikir, kosmopolitanisme dan kesetaraan hak setiap individu manusia. Dan sepertinya etos keilmuan seperti inilah yang telah hilang dari dunia pendidikan model barat, termasuk juga di Indonesia.

Pada akhirnya, buku langka dan autentik, yang ditulis dengan antusias dan penuh keprihatinan ini sangat penting untuk mengimbangi dan mengoreksi arus informasi dan penulisan sejarah ilmu pengetahuan yang cenderung searah dan terkesan hegemonistis. Selain itu juga sangat bermanfaat dalam memenuhi literatur kebutuhan pendidikan berkarakter yang dirasa sangat minim.