Ketika reformasi dikobarkan, desakan untuk membuka keran kebebasan pers tak bisa dibendung. Maklum, selama 30 tahun rezim orde baru berkuasa, pers selalu dibungkam. Pers dikontrol sedemikian rupa sehingga tak mampu menghasilkan berita secara berimbang.

Namun, kini kebebasan pers justru terkesan salah arah. Kebebasan pers bersuara rupanya telah diselewengkan. Bukan untuk memberitakan fakta. Tetapi malah cenderung mengkonstruksi realita. Membangun opini publik.

Performa pers dan media massa belakangan memang patut “digugat”! Pasalnya pers yang diharapkan mampu menjadi sarana penyeimbang arus informasi justru terjebak dalam permainan dan pemihakan politik. Sulit untuk benar-benar menemukan pers yang independen dan memihak kebenaran.

Beberapa media arus utama yang ada sekarang ini nyata-nyata memiliki kedekatan emosional dan ekonomis terhadap partai politik. Modal operasional beberapa media yang santer mengudara mayoritas dikuasai oleh para tokoh politik, ataupun mereka yang  melibatkan diri secara terang-terangan maupun laten dalam praktek politik praktis.

Belum lagi bila dikaitkan dengan kepentingan media sebagai lembaga profit. Adagium “bad news is a good news” menjadi semakin tak terhindarkan. Mekanisme pasar menjadi logika yang tak terbantahkan. Framing dan konstruksi pemberitaan, setelah disesuaikan dengan kepentingan pemilik modal, selanjutnya juga masih harus disesuiakan dengan selera pasar. Fungsi edukasi yang dimiliki media massa semakin kabur. Bahkan menjurus nihil sama sekali.

Dengan kondisi semacam ini, tentunya cukup sulit untuk memperoleh pemberitaan yang sehat dan mencerdaskan. Masyarakat seyogyanya menuntut diri sendir untuk selalu kritis dan selektif memilih saluran pemberitaan bila tak ingin terprofokasi oleh kepentingan dibalik wacana dan pemberitaan oleh media.

Nah, karenanya wajar dan sudah sepatutnya kita juga turut menggugat para pelaku/awak media, para jurnalis. Kemanakah hati nurani mereka berpihak?