Salah satu dan mungkin yang paling berpengaruh terhadap minimnya pencapaian bangsa kita saat ini adalah rasa permisif yang demikian besar dari setiap warga negaranya. Yaitu toleransi berlebihan terhadap perbuatan yang jelas-jelas keliru, baik secara hukum atau pun etika moral.

Kita adalah bangsa yang sangat mudah memaklumkan kesalahan. Menoleransi keterlambatan. Serta membiarkan kekeliruan berulang.

Rasa kemanusiaan seringkali menjadi pembenar terhadap sikap permisif kita. Padahal tentu tak semua toleransi berlebihan itu benar. Meski kesalahannya pun tak ada yang bisa memberi batasan.

Tengok saja kondisi masyarakat kekinian, tak perlu jauh-jauh di jantung negara, ibu kota. Cukup di lingkungan kita masing-masing saja. Di kampung, di kampus, di kantor juga di jalanan.

Misalnya, agar tak kena tilang kita “berdamai”, agar lulus ujian kita mencontek dikit-dikit,  tugas kuliah numpuk pilih copy-paste, atau bahkan kita, teman-teman sejawat kita atau pun bos-bos kita seenaknya mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Ya! Hampir dari kita semua melakukan hal semacam itu, bukan? Sesekali? Yakin? Atau kalaupun tidak, tidak banyak yang berani melawan kekeliruan sistemik demikian itu. Yaitu yang mau berkeringat dan berdarah untuk membenahi kebobrokan yang tak lagi sekedar mengakar, tetapi telah mendarah daging dan keluar jadi kotoran sehari-hari itu.

Tak ada yang menyalahkan sepenuhnya! Tak ada yang benar-benar memeranginya!  Dan kita pun masih asyek-asyek aja seh menikmatinya. Tentu, karena kita semua masih manusia dan manusiawi. Benarkah?