Dalam kacamata biologis, manusia boleh saja dipandang sebagai tak lebih dari susunan tulang dan daging, mamalia bertulang belakang yang memakan apa saja.  Tapi realitanya kehidupan manusia,  hidup kita, lebih rumit dari itu. Cara bertahan hidup kita tak sekedar makan,  berak dan beranak pinak seperti mamalia bertulang belakang lain pada umumnya. Sial  memang,  tapi kita butuh jauh lebih dari hal mendasar untuk hidup yang tak sekedar hidup.

Kita memerlukan lebih banyak variabel untuk tak sekedar hidup. Kita butuh ilmu pengetahuan untuk menuntaskan hasrat keingintahuan,  kita butuh seni untuk meng-alami keindahan, kita butuh hukum untuk mencapai kesepakatan dan ketertiban,  kita butuh spiritualitas untuk menggapai sesuatu yang tak kita pahami, dan lebih dari itu kita juga butuh lupa untuk melawan kenangan. Siapapun boleh menambah daftar kebutuhan hidup tersebut sesuai dengan minat dan kebutuhannya sendiri,  hanya saja dalam tulisan ini saya sedang terpantik mengulik soal “lupa”.

Bagaimanapun daya ingat kita sangatlah terbatas. Apalagi jika diduelkan dengan peradaban informasi yang bergerak teramat cepat dan melimpah ruah. Informasi dari TV,  koran,  sosial media,  portal berita online, sejarah, percakapan keseharian, pelajaran sekolahan,  tugas-tugas kantor,  daftar kebutuhan belanjaan, hari-hari besar (ulang tahun,  hari pernikahan, hari besar keagamaan dll), nama-nama rekan sejawat, ulah dan kebohongan politisi yang menyebalkan,  angan-angan masa depan serta aneka kenangan hidup adalah rentetan singkat dari yang lebih panjang yang menjejali dan membebani daya ingat kita setiap hari, yang sangat mungkin tidak dialami oleh spesies jenis lain di jagad semesta. Jika sedikit saja kita bayangkan bagaimana semua itu bekerja sungguh di luar nalar awam kita. Dan mari biarlah para ilmuwan yang membidanginya yang meneliti dan menjelaskan.

Selain daya ingat yang luar biasa, daya lupa ternyata juga memiliki peran yang tidak kecil dalam kehidupan kita. Bahkan tak berlebihan bila dikatakan bahwa salah satu cara kita bertahan dari ganasnya kehidupan adalah dengan melupakan. Lupa pulalah yang salah satunya membedakan daya ingatan kita berbeda dengan ingatan atau memori komputer, misalnya. 

Sekalipun kadang menjengkelkan, satu sisi lupa mendorong kita kembali menantang kehidupan paska kejatuhan.  Menyembuhkan luka kehilangan. Melapangkan kebuntuan. Katalis lahirnya secercah harapan baru. 

Masyarakat Aceh, misalnya,  bangkit karena mampu melupakan kepedihan mendalam paska bencana tsunami dan bergerak maju. Nelson Mandela melupakan segala deritanya di bawah rezim apartheid dan membangun kembali bangsanya dengan permaafan atas masa lalu. Begitupun jutaan orang sukses dan para pemenang lainnya yang melupakan kekecewaan atas aneka kegagalan sebelumnya.

Mengelola lupa adalah sebuah kecapakan penting yang juga perlu kita kuasai. Sebagaimana diulas di muka,  membanjirnya informasi -yang diantaranya bisa merupakan sampah- bisa-bisa membuat kepala kita penuh sesak. Membebani memori dan menghabiskan energi untuk hal-hal yang tak perlu. Hingga berpotensi menurunkan produktivitas bahkan juga kreativitas kita.

Dalam kadar yang tepat,  lupa bisa menjadi alternatif kecakapan alamiah yang perlu kita asah terus menerus untuk bertahan dalam kehidupan yang tak hanya semakin keras tetapi juga rumit dan kusut.