Lagi-lagi sering kita mendengar, bahkan dibuat jengkel dengan praktik dagang para calo di berbagai lini peluang dan kesempatan. Mulai dari calo KTP, calo tiket konser, calo tanah, calo terminal, calo jaminan kesehatan di rumah sakit, calo SIM, calo STNK, calo tiket pertandingan sepak bola, calo tes rekurtmen CPNS, calo anggaran DAK, calo proyek pemerintah, calo pemilihan hakim agung, dan calo-calo yang lain yang, maaf, tak sempat tersebut di sini. Siapa tahu mungkin saja ada calo tiket masuk surga di negeri ini tetapi belum terekspos saja.

Negeri ini memang sarang calo. Calo sudah ada di setiap lini kehidupan masyarakat. Mengisi sela-sela kesempatan yang sangat sempit sekalipun. Gentayangan ke sana ke mari mencari apa saja yang bisa di-calo-kan. Tak peduli siapa korban, si kaya atau si miskin. Calo dengan praktik legal maupun ilegal. Bersertifikat atau pun baru merintis. “Pokoknya” lengkap sudah peredaran calo di negeri ini. Bahkan siapa berani jamin seleksi komisioner KPK sekalipun tak bebas dari praktik percaloan?

Namun demikian, meskipun menjengkelkan untuk diakui, praktik percaloan ini ikut memutar roda ekonomi bangsa. Menjadi pelengkap bagi konsumerisme sebagai yang paling berpengaruh dalam “menggelindingkan” bola perekonomian kita. Ironis.

Pertanyaannya kemudian, haruskah percaloan ini diberantas? bagaimana caranya? dan mengapa keberadaannya justru semakin merabak, bak cendawan di musim penghujan?

Hemat penulis, banyaknya praktik percaloan ini tidak semata-mata disebabkan oleh minimnya lapangan pekerjaan. Buktinya banyak juga penjahat kerah putih yang menjadi aktor dan pelakunya. Mereka yang sudah berpenghasilan di atas garis hidup layak pun sering tergiur manisnya bisnis percaloan dengan bermodalkan akses kekuasaan yang digenggamnya. Diantara mereka sudah banyak yang terbongkar “belang hidungnya”. Sementara yang lain masih terus meraup untung karena “kelicinannya”.

Sedikit lebih dalam menelisik praktik percaloan ini untuk melihat akar permaslahannya memang bukan hal yang mudah. Banyak faktor yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Seperti minimnya lapangan kerja, sistem yang koruptif (corrupted system) yang justru melahirkan peluang, sikap mental suka menerabas serta rendahnya kreatifitas sebagian masyarakat. Dari faktor yang telah disebutkan sebelumnya, dapat di konversi ke dalam dua jenis variabel secara umum. Yakni struktural dan kultural. Dua pertama adalah struktural dan dua lainnya merupakan kultural.

Namun, dalam kesempatan yang singkat ini, penulis merasa lebih tertarik untuk mengomentari variabel yang terakhir. Karena secara sadar memang banyak hal negatif di negeri ini, sekarang ini, lebih banyak dikarenakan oleh variabel kedua tersebut. Sekalipun pada dasarnya kondisi demikian banyak disebabkan oleh variabel pertama pada masa awalnya.

Secara kultural masyarakat kita memang suka hal-hal yang berbau instan. Tidak mau bersusah-susah tapi selalu ingin hasil maksimal. Karenanya jalan pintas pasti menjadi andalan. Kebijakan impor seringkali menjadi contoh paling tepat sikap mental seperti ini. Selain itu pula, masyarakat jawa mengenal idiom yang berbunyi “sepi ing gawe rame ing pamrih”. Menggambarkan sikap mental masyarakat yang malas bekerja/berkarya/berkreasi/berproduksi tetapi ingin memperoleh keuntungan/imbalan yang besar.

Paradigma yang sangat tepat untuk menyuburkan konsumerisme dan meregenerasi praktik percaloan di tanah air. Tak perlu diperpanjang serta diperlebar, teramat banyak contoh perilaku negatif dalam kehidupan sosial-politik kita yang disebabkan oleh budaya negatif ini yang sangat tidak perlu untuk disebutkan satu-persatu.

Lalu bagaimana mengobatinya? Pertama-tama ya merubah kultur atau budaya itu sendiri. Dalam hal ini lembaga pendidikan, formal ataupun informal, memegang peranan yang sangat penting. Sekolah-sekolah formal, keluarga, komunitas, tokoh-tokoh masyarakat dan kelompok masyarakat sipil perlu menjadi agen yang menunjukkan keteladanaan secara nyata pada generasi penerus. Hal ini mendesak dilakukan secara bersama-sama agar segera terasa dampak perubahannya. Dimulai dari diri sendiri (penulis) dan saat ini juga. Kemudian dibutuhkan komitmen untuk senantiasa memegang teguhnya.

Karena seperti apapun bagusnya sistem dan aturan main (struktur) yang akan kita bangun, bila kultur negatif ini masih saja menjangkit dan menggerogoti mayoritas kita, berbagai kasus, skandal, penyimpangan dan keculasan demikian ini akan terus “mengemuka”, “menganga” dan berkelanjutan. Menurun hingga anak cucu kita kelak. Semoga tidak!