Cari

Ruang Sunyi

Museum Tanya, Tawa dan Semesta yang Lekas Terlupa

(Tidak) Membaca!

Di negeri kami membaca adalah perbuatan tabu lagi sedikit tercela. Kami membaca hanya untuk kebutuhan praktis saja. Seperti menghadapi ujian sekolah, perdagangan, dan kepentingan-kepentingan ekonomis lainnya. Itu pun kami lakukan dengan sembunyi-sembunyi. (karena dicap sebagai kutu buku adalah aib yang mesti kami jauhi)

Menyebarkan bahan bacaan adalah ke-tabu-an yang lebih keji lagi. Dulu tindakan seperti ini akan dicurigai sebagai tindakan subversif. Namun sekarang ini era sedikit berubah, kau hanya akan dituduh radikal jika nekat melakukannya.

Aku tidak tahu benar apa beda subversif dan radikal, hanya saja ku pikir keduanya adalah tindakan yang sebaiknya tidak didekati -apalagi dilakukan- oleh warga negara yang baik. Pemimpin tertinggi kami adalah inspirasi terbaik untuk menjauhi bacaan.

Baginya kerja adalah jauh lebih mulia daripada membaca.

Saking gilanya pada kerja pemimpin tertinggi kami tidak lagi perlu membaca apapun yang akan ditanda tanganinya.

Tidak membaca bahwa negerinya sudah bebas utang dari penyedia dana talangan internasional.

Tidak membaca bahwa bila nyali rupiah menciut, akan banyak perusahaan yang gagal bayar utang yang berakibat pada efisiensi yang berarti akan banyak tenaga kerja yang dirumahkan.

Tidak membaca bahwa saat harga-harga melejit -yang konsekuensinya hidup makin sulit- kriminalitas bakal meningkat.

Tidak membaca apa-apa yang dulu dijanjikannya.

Tidak membaca bahwa warganya telah muak dengan penegakan hukum beserta aparat-aparatnya.

Tidak membaca bahwa warganya telah dipenggal di negeri orang.

Tidak membaca bahwa tidak lebih dari setiap dua hari dalam sepanjang tahun ada bayi yang dibuang begitu saja di jalanan. Dan tidak membaca banyak hal lainnya.

Satu-satunya yang pemimpin tertinggi kami baca adalah naskah pidato, itupun tak pernah di reviewnya lebih dulu.

Meski begitu kami tetap sangat mencintai pemimpin tertinggi kami. Kami bahkan berpegang pada dua prinsip ideologis.

Prinsip pertama bahwa pemimpin tertinggi kami selalu benar. Kedua, jika ada kekeliruan kami akan menutup mata serta telinga dan tetap berpegang pada prinsip yang pertama.

Nb: direpro dari status pada FB saya tertanggal 25 april 2015.

Perkara Ijin

Sewaktu duduk di bangku sekolah menengah dulu, saya seringkali ijin meninggalkan kelas, terutama saat bosan dengan materi atau penyampaian materi pelajaran.

Meski urusannya beda-beda, alasan yang saya sampaikan kepada guru cuma satu. “Maaf bu/pak saya mau ijin ke belakang”. Begitulah.  Dan hampir, seingat saya malah pasti, selalu berhasil. Tak pernah rasanya guru menolak ijin saya dan menyuruh kembali duduk saja mengikuti presentasi ilmu pengetahuannya. Tidak pernah!

Frase “ke belakang” bagi saya pribadi memiliki makna yang luas. Bisa jadi maksudnya adalah memang ke toilet, sebagaimana yang “mungkin” dimaknai guru saya, dan itu juga yang saya harapkan. Tak jarang juga berarti makan siang di kantin, ke mushola untuk sholat dhuhur lalu ngobrol ngalor-ngidul. Jika berharap saya ngobrol sambil merokok, maaf saja saya tidak pernah begitu, bahkan hingga hari ini.

Padahal kalimat sakti tadi, tentu saja, bukan hanya milik saya pribadi. Semua murid lain pun melakukan hal serupa. Dan keberhasilannya tentu juga bukan karena tampang memelas saya ataupun teman-teman. Tetapi lebih pada pemakluman bapak/ibu guru pada kelakuan kami. Sekalipun mereka mengetahui.

Memori per-ijin-an ini kembali menyentil kesadaran saya ketika belakangan hari banyak media-media nasional mengulas soal pembangunan infrasturkur, begitu istilah yang kini kian populer dan saya pikir setingkat saktinya di atas kalimat “mau ijin ke belakang”, yang dilakukan dengan tanpa mekanisme perijinan yang semestinya.

Sebut saja, misalnya, proyek pembangunan kereta cepat yang sudah ground breaking dan mulai pembangunannya sebelum ijin AMDAL dan ijin prinsip kementrian perhubungan beres. Atau ijin reklamasi teluk Jakarta yang tidak sesuai alur hukum tatanegara, ijin gubernur diteken sebelum jelas payung hukum peraturan daerah yang mengaturnya.

Kedua perkara ijin tersebut cukup menggelitik dan seolah kemudian menyentak pikiran saya, seolah tetiba ada cahaya menyinari dari langit gelap saat itu. Jika anda mengira cahaya itu sebagaimana simbol pencerahan dan risalah tuhan, maaf tetapi saya pikir ini lebih dekat dengan cahaya yang mengirim Mr. Bean ke lantai bumi.hehe… (Mari kita lupakan saja soal Mr. Bean dan cahayanya itu. Karena saya yakin anda tidak tertawa saat membacanya, begitupun saya saat mengetiknya)

Yang pasti adalah betapa soal “ijin” ini rupanya sangat berkaitan erat dengan relasi kekuasaan. Saya mulai meyakini bahwa ia adalah anak kandung lainnya dari kekuasaan. Buah turunan dari adanya ikatan primordial yang kita kenal sebagai kuasa.

Perkara ijin adalah tanda (baik penghubung atau pemisah atau bahkan pengikat sekaligus) antara penguasa dan yang dikuasai. Begitu banyak hal harus dimintakan ijinnya kepada penguasa sebelum dilakukan. Ijin mendirikan bangunan, ijin berusaha, ijin keramaian, ijin mengemudi, ijin tidak masuk kantor, hingga ijin ke belakang seperti pengalaman yang saya ceritakan di muka.

Penerabasan terhadap ijin seringkali beroleh sanksi. Sanksi mungkin bisa beragam terkait berat-ringannya persoalan. Ada sanksi pidana, sanksi administratif, sanksi denda, sanksi sosial, sanksi jewer kuping hingga sanksi membersihkan toilet. Sanksi bagaimanapun merupakan instrumen penting agar kekuasaan tetap langgeng dan penuh wibawa.

Kentalnya relasi kuasa dalam perkara ijin ini ditunjukkan pula pada kondisi dimana yang lebih berkuasa tidak dituntut untuk mendapat ijin pihak yang dikuasai. Dalam hal ini bagaimanapun tidak ada konsep timbal balik. Sekali lagi hanya satu arah. Dari penguasalah yang memberikan ijin, titik.

Itu pula yang mungkin membuat Presiden tak perlu menunggu proses perijinan pembangunan kereta cepat, yang salah satunya dikeluarkan menteri perhubungan, untuk meletakkan batu pertama dan memulai pembangunannya. Sebagai presiden mungkin tak perlu menunggu ijin menteri. Karena menteri berada di bawah kuasa dan kendalinya. Bukan sebaliknya. Begitupun mungkin dengan proyek reklamasi teluk Jakarta. Gubernur Jakarta mungkin merasa yang paling berkuasa di sana, hukum, peraturan dan lain-lainnya bisa dikendalikan. Entahlah.

Di sisi lain, semakin beragam ijin dan berat sanksi yang diberlakukan, bisa jadi merupakan indikasi yang menunjukkan sifat tiran seorang penguasa. Tirani, di manapun, selalu merasa ingin mengatur dan menentukan apa-apa yang menurutnya terbaik bagi orang lain, terutama yang berada dalam kendali kuasanya. Begitu biasay.

Di jaman orde baru dulu, konon, ijin penerbitan dan penyiaran begitu sulit didapat. Sumber pemberitaan dan apa-apa yang bisa dikonsumsi melalui buku, koran dan siaran televisi mesti melewati ijin dan sensor super ketat dari negara. Ijin menjadi instrumen untuk “menertibkan” dan mendisiplinkan perilaku masyarakat.

Sebagai catatan penting penguasa yang dimaksud di sini bisa dari mana saja, tak terbatas pada penguasa dengan otoritas hukum tertulis resmi, seperti halnya penguasa pemerintahan. Mereka yang berkuasa berdasar konvensi komunitas sosial terkecil pun termasuk di dalamnya. Termasuk kekuasaan domestik di dalam rumah tangga anda. Oleh karena itu, jika pasangan (suami atau istri) anda menuntut banyak proposal perijinan dan suka menentukan apa saja yang boleh dan tidak untuk anda, boleh jadi ia merupkan tiran buat diri anda. Waspadalah!

Waktu

Hidup, konon, tak lepas dari ruang dan waktu. Segala peristiwa terjadi hanya bila memenuhi kedua unsur tersebut. Mutlak. Tak bisa ditawar lagi. Sesuatu yang tidak me-ruang, karenanya, tak bisa disebut ada. Begitupun sesuatu yang tak tersentuh aliran waktu. Begitulah setidaknya menurut keyakinan ilmu pengetahuan, yang positifistik itu.

Ide, misalnya, sekalipun menurut Plato adalah sumber realitas sebenarnya, tapi “terbantahkan” oleh ketiadaan realitas ruang sebagai prasyarat. Ironisnya, keyakinan ini berhulu pada pemikiran aristoteles, murid Plato sendiri. Tapi ilmu pengetahuan bukanlah dogma, sangat bisa dibantah, bahkan oleh pencetusnya sendiri. Dan hingga hari ini, teori soal ruang inilah yang mendominasi pandangan kita, disadari, disepakati dan direstui atau tidak.

Sementara, waktu masih menyisakan banyak misteri dan karenanya juga kontroversi. Sekalipun sudah ada teori fisika yang menerangkan perihal waktu, salah satunya yang paling fenomenal adalah penjelasan Enstein soal relativitas, toh belum cukup memenuhi harapan dan hasrat kita soal waktu.

Ya, rasa penasaran kita soal waktu seringkali bukan untuk menyingkap keadaannya apa adanya. Melainkan lebih pada perasaan dan hasrat kita akan waktu. Terutama rasa bersalah kita saat menjalani waktu.

Itu juga yang menjadikan imaji tentang perjalanan melintas waktu selalu menarik perhatian kita. Kita selalu berharap bahwa waktu benar berjalan dengan tidak linear (searah dan membentuk garis lurus). Bahwa ada jalan penghubung dalam sebuah jalur waktu, yang memungkinkan kita untuk berbelok dari jalur utama dan kembali. Ataupun kita menginginkan kekuatan untuk melipat-lipat waktu, bahkan menghentikan sementara, sehingga mungkin untuk mempermainkan ruang-waktu tersebut.

Hasrat agar kita dapat kembali memasuki ruang waktu yang lalu dengan kesadaran dan tubuh kita hari ini, diyakini, disepakati dan disadari atau tidak, begitu besar menguasai nalar kita sewaktu-waktu. Adalah dorongan yang seringkali mencuat dari masa lalu yang mengundang kita untuk kembali menyapa dan bahkan memperbaikinya. Dan kita pun selalu, dengan naifnya, merasa yakin akan mampu memperbaiki sebab-akibat yang telah terjadi, jika ada kesempatan mengulang kembali putaran waktu.

Buku dan Pengalaman Spiritual

Entah berlebihan atau tidak,  membeli buku tidak hanya selalu menyenangkan buat saya tapi juga memberi semacam pengalaman spiritual lainnya.

Saya bukanlah pembaca buku yang bisa dibilang rutin,  setiap bulan mesti mengkhatamkan sekian buku. Karena memang terkendala oleh harga yang menurut saya tidak murah,  terutama untuk buku-buku pilihan. 

Bagi saya membeli buku bisa jadi proses yang birokratis,  rumit.  Saya perlu mencari review terlebih dulu atas buku yang akan saya beli,  tentang penulisnya atau tentang pendapat orang mengenainya.  Belakangan saya lebih suka membeli buku selepas mendalami profil penulisnya, bukan tema ataupun judul bukunya.  Bukan apa-apa,  sekali lagi hanya siasat untuk  mengefektifkan rupiah yang mesti saya keluarkan. 

Tentu saya tak mau menghamburkan isi dompet, yang tentu bisa untuk mencukupi barang kebutuhan sehari-hari, begitu saja untuk buku yang diluar genre dan selera saya. Terlebih label best seller seringkali tak mencerminkan kualitas.  Bagaimanapun perlu sedikit referensi agar buku yang akan saya beli nanti tergolong value for money. Sekali lagi karena harga buku di negeri ini tidaklah murah, bagi kantong saya.

Menariknya seringkali setelah buku-buku yang saya beli dibuka dan dibaca, saya merasa buku itu, dimana buku yang saya maksud dalam tulisan ini lebih mengacu pada novela atau kumpulan cerita pendek- tersebut seketika menjadi cermin yang menelanjangi diri saya. Melalui buku-buku ini saya bisa merasai jiwa dalam diri saya sendiri. Bahwa ternyata saya begini atau saya begitu,  semakin saya sadari.

Sering pula buku yang sedang saya baca begitu dekat dengan momen-momen yang sedang berlangsung dalam hidup saya. Entah mengapa bukan satu atau dua buku yang saya baca memiliki kemiripan cerita serta peristiwa. Dan saya merasa ini bukan sebuah kebetulan. Seperti buku-buku itu sedang ingin mengajari saya, menuntun saya mengatasi masalah-masalah yang saya sedang hadapi. Buku, karenanya, seperti memilih saya untuk membacanya dalam momen terbaik dan paling relevan. Entahlah.

Begitupun saya kemudian bisa mengerti kenapa orang bisa begitu atau begini.  Selalu ada motif disetiap tindak-tanduk. Terlepas dari benar atau salah saya menjadi bisa memahami atas apa yang mungkin dilakukan oleh orang lain di dunia nyata.  Sebagaimana kita selalu bisa memahami dan membenarkan mengapa kita melakukan ini atau itu.

Bagi saya perasaan demikian sangatlah bernilai spiritual. Spiritualitas karenanya, menurut saya, tak mesti hanya bisa digali dari teks kitab suci. Malahan jika hanya teks kitab suci saja yang kita pedomani,  yang spiritualitas itu justru berpotensi menjadi kering dan dangkal. Padahal semestinya, masih menurut saya, lapang, semilir dan sekaligus seolah tak tergapai dasarnya. Semakin kita selami, semakin dalam saja rasanya spiritualitas itu seperti tanpa batas. Tiada ujung dan pangkalnya. Seperti luasnya alam semesta.

Sementara bagaimanapun teks selalu terbatas oleh kata, baik makna kata itu sendiri ataupun keterbatasan kita dalam menangkap maksud dari rangkain kata. Selain itu teks perlu ditafsirkan dengan kacamata realitas yang seringkali kompleks dan menghasilkan sudut dan jarak pandang yang tepat.  Multidimensional. Tak ayal bila teks-teks suci yang hanya ditafsir dengan kacamata kuda,  radikalisme dan pemaknaan yang sempitlah yang justru menguasai nalar berpikir kita. Dan buku-buku yang bisa mengasah kompleksitas kacamata kita itulah yang berapapun harganya mesti layak dibeli.  Sekian.

Melawan (Kuasa) Media

Agama, menurut logika Karl Marx, adalah candu bagi masyarakat. Dengan logika serupa bisa juga kita katakan bahwa media massa (selanjutnya disebut media) adalah candu masyarakat.

Informasi bisa dikatakan sebagai kebutuhan yang melampaui primer saat ini. Dosisnya bahkan melebihi konsumsi akan kalori bahkan masih cenderung meningkat setiap saat. Apalagi dengan berbagai kemudahan dan kemurahan arus digitalisasi informasi, pesonanya semakin terang benderang. Bisnis yang kemudian menjadi primadona.

Media, baik cetak, televisi, daring atau pun yang bertarung di semua lini, berlomba-lomba menjadi produsen informasi yang paling berpengaruh luas. Kecepatan dalam memproduksi informasi menjadi daya tawar yang paling menonjol, sementara substansi dan akurasi menjadi prioritas yang tak diperhitungkan.

Euforia arus deras informasi, di sisi lain,  membius masyakarat dengan dosisnya yang melampui kebutuhan. Paparan informasi yang demikian seporadis, tanpa kita sadari, telah menjadikan nalar kita lumpuh untuk membedakan mana yang perlu dan tidak, benar dan salah, etis atau sekedar estetis, bahkan yabg valid dengan yang hoax. Persaingan bisnis yang begitu keras membuat beredarnya informasi seringkali tanpa konfirmasi yang serius, belum lagi jika dikaitkan dengan ideologi, kepentingan pemilik media dan laku hiperbolis para wartawan serta jajaran redaksi. Bias akibat konflik kepentingan menjadi kompleksitas yang mustahil dihindari.

Ihwal laku demikian tak hanya terjadi pada media-media kacangan. Media arus utama (maenstream) pun seringkali terjebak dalam pembelahan kepentingan, terutama saat menyoal “yang politis”. Silang sengkarut informasi begitu kental terutama jelang, ketika dan paska momen-momen politik tertentu, paling marak saat pilpres ataupun pilkada (terutama Pilgub DKI).

Media tidak hanya sekedar mengabarkan peristiwa dan merekonstruksinya menjadi realita sesuai selera redaksi tetapi juga turut beragenda membangun opini-opini dan propaganda tertentu untuk mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat. Mendiktekan apa yang baik, siapa yang benar, sianu yang cakap atau bahkan mereka yang “antagonis” dan perlu selalu diwaspadai. Tak ayal jika media seringkali mendorong masyarakat lebih dulu menghakimi atau juga jika tak cukup sabar media sendirilah yang menjadi hakim, bahkan sebelum hakim yang sesungguhnya mengetok palu di meja hijau.

Mungkin sekali lagi perlu ditekankan, digaris bawahi dan dicetak tebal-tebal bahwa prektek macam itu dilakukan oleh hampir, saat kita terlalu permisif untuk mengatakan, seluruh media. Hanya saja dikarenakan derasnya desakan informasi setiap hari, ketiadaan waktu senggang dan lemahnya sensitifitas nalar kita untuk berpikir sedikit lebih keras menguji kesahihan substansi tiap informasi yang beredar, membuat kita abai dan percaya begitu saja terhadap informasi yang dijejalkan media.

Paradigma Bawang Merah-Bawang Putih

Adalah yang paling berbahaya, setidaknya menurut saya, dan perlu diwaspadai yaitu kebiasaan media dalam memandang momen politik, terutama pemilihan umum, dengan paradigma bawang merah-bawang putih.

Dimana media berkepentingan menyematkan kepada salah satu pasangan yang disukainya (primadona media) sebagai figur bawang putih, sosok yang selalu berkelakuan baik, suci, tanpa sedikitpun celah keburukan tetapi sekaligus rapuh dan teraniaya. Di sisi lain diciptakan pula figur antitesis yang antagonis, picik, berlumur dosa dan senantiasa akan melakukan persekongkolan jahat. 

Paradigma demikian tidak hanya tak memberikan pendidikan politik yang sehat kepada masyarakat, sekali lagi menurut keimanan saya, melainkan juga berpotensi melanggengkan perpecahan dalam masyarakat (bahasa ilmiahnya: akar rumput) dalam jangka waktu lama sekalipun momen politik telah berakhir. Dan itulah yang sampai detik dimana tulisan ini diketik, bahkan mungkin juga saat anda baca, buih-buih pertarungan politik masih kental menumpuk dipermukaan.

Kita masih merasa terbelah dan mengalami perbedaan keyakinan, di satu sudut ada “fans” kubu pemenang yang terus terbawa kultus kesucian bawang putih yang tanpa cela, dan cenderung menyerang ketika ada kritik yang mengusik sakralitasnya, di sudut lain ada yang “terbakar” karena merasa kelompok lain terlalu berlebihan dalam mengagungkan individu lalu semakin panas dan tak pernah mau mengakui kekeliruan idolanya, sehingga semakin terdorong untuk selalu mencari kesalahan-kesalahan. Atau pun sebaliknya. Selama kondisi seperti ini terus berlangsung, kondusifitas kehidupan sosial akan selalu terancam. Kerukunan menjadi pertaruhan dan radikalisme menjadi semakin kental. Karenanya, pembangunan demokrasi justru semakin tersandera.

Akan lebih baik jika sedari awal media mengambil jalan tengah untuk menempatkan persaingan politik sebagai persaingan antar manusia seutuhnya, yang punya potensi dosa masa lalu dan potensi kekeliruan masa depan secara seimbang. Bahwa siapapun yang bakal menang nantinya membawa kemungkinan untuk berkhianat jika tidak terus dipantau, bisa lupa pada janjinya bila tidak terus ditagih dan bisa menyelewengkan kekuasaannya demi kelanggengan kedudukan diri dan kawanannya. Meskipun memang tentunya ada yang lebih baik dari yang lainnya, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Karenanya media tidak seharusnya selalu membenarkan satu pihak, dan mendiskreditkan pihak lain. Keberimbangan sudah sepatutnya menjadi nafas pemberitaan.

Tak bisa dipungkiri bahwa kepentingan media itu nyata ada, tetapi jika cara-cara yang digunakan terbukti kontrapoduktif terhadap kehidupan sosia-politik dan pembangunan demokrasi sudah semestinya media pun turut mengkoreksi diri, kecuali jika memang kelahirannya bertujuan sebagai media propaganda. Namun jika tidak memungkinkan, sudah sepantasnya agar kita tidak membiarkan pembiasan seperti ini teru berlarut. Sulit memang untuk melawan kuasa media yang begitu luasdan besar pengaruhnya. Karena toh tak bisa dinafikan bahwa kita sangat butuh informasi-informasi teraktual dari media.

Namun yang lebih penting adalah saatnya kita menyadari bahwa informasi yang disodorkan media tidak selalu benar adanya. Tak perlukah kita sampai menjadi latah dan terlalu reaktif dalam menyikapi pemberitaan media. Para awak media bukanlah pembawa risalah kebenaran yang tanpa potensi keliru dan curang. Dan karenanya pula media bukanlah kitab suci yang kebenaran isi dan misinya tak boleh dipertentangkan.

Di sinilah perlu kiranya kita meminjam logika progresif Karl Marx untuk menolak media sebagai candu yang memabukkan dan mematikan nalar sehat, sekalipun kita tak benar-benar membenarkan pernyataan aslinya. Pada akhirnya pemikiran dan daya kritis kita perlu untuk menerus diasah dan tak boleh mati hanya karena tudingan sebagai “haters”. Toh, manusia, apapun posisinya, memiliki potensi kesalahan yang sama, sebagaimana kita pun demikian.

Gembala yang Tersesat

Dalam sebuah percakapan daring (online) di sebuah grup mini yang saya ikuti bersama teman dan teman (sesuai program pemerintah dalam Grup Berencana, 2 anggota cukup), tiba-tiba saja secara spontanitas, begitu, kami bertukar profesi idaman yang berbeda sama sekali dengan profesi kami hari ini.  Dipicu seorang teman yang mengunggah gambar daftar harga stiker dinding, dan mimpi kecilnya menjadi seorang desainer interior, disusul bersahutan impian profesi idaman satu dan sisanya, lagi-lagi karena cuma bertiga.

Sekalipun awalnya hanya sebuah kelakar, perlahan rupanya hal ini mengusik kehidupan nalar batin saya hari berikutnya. Perihal  mimpi “kecil-kecilan” saya untuk menjadi penulis cerpen atau novel yang saya utarakan saat itu. Dorongan yang sebetulnya saya rasakan semakin kuat dalam diri saya belakangan. Hanya saja keberanian dan kecapakan untuk “melukiskannya”, saya rasa, belum cukup daya. Saya sadar betul bahwa niat saja masih jauh dari cukup.

Di sisi lain benak saya pun tiba-tiba memberondong tanya: sedemikian pengecutkah saya tak berani menempuh angan-angan itu atau begitu pragmatisnya-kah pribadi saya sehingga tak yakin akan proses dan hasil yang dapat dipetik dari menekuni mimpi alih-alih mencari hal lain yang setelah dikalkulasi lebih menguntungkan? Atau saya memang tak yakin akan kemampuan saya sendiri? Atau memang saya tak pernah betul-betul ingin mengarah ke sana, seperti halnya impian seorang bocah saat ditanyai dan dijawabinya ingin jadi pilot, dokter dan insinyur yang sesungguhnya profesi tersebut tak dipahaminya dengan jelas. Atau ini, atau itu yang semuanya hanyalah alasan yang saya susun sendiri sebagai pelipur? Boleh jadi begitu.

Kemudian saya mulai menghibur diri -lagi- dengan menegaskan bahwa tergantungnya mimpi-mimpi kami tidaklah sendirian. Ada banyak, entah ratusan, ribuan, jutaan atau biliunan mimpi serupa yang tertambat entah di planet mana di sudut langit sana. Bersama do’a-do’a yang entah mengapa diacuhkan Tuhan.

Tapi bukanah hidup jika tidak begitu, saya mulai menjawab ceracau dalam pikiran sendiri -seolah-olah bijak tapi bisa jadi hanya sebuah pembenaran atas ketidakcakapan. Tidak semua yang kita inginkan terwujud. Tidak semua yang kita kejar tergapai. Berita baiknya, banyak hal baik yang tidak diduga terjadi. Sebuah kejutan hidup yang kadang kita sebut sebagai keberuntungan, keajaiban, anugrah atau pun mukjizat.

Meski demikian, baiknya mimpi tetap dikejar, sekalipun akhirnya bisa gagal lagi juga. Karena toh masa depan sama misterinya, apakah akan berpihak pada kegagalan atau keberhasilan (oh ya mungkin buat mimpi teman saya yabg terakhir paling sulit tercapai karena dia SMA di jurusan IPS, kuliah di ekonomi studi pembangunan tapi berkeinginan jadi fisikawan/ilmuwan).

Di sisi lain, saya tidak akan menghibur siapapun dengan mengatakan bahwa gagal adalah sukses yang terdunda. Bagaimanapun gagal adalah gagal. Dan karenanya kita perlu belajar lagi dan meningkatkan kompetensi serta kelayakan agar menuai sukses di kesempatan berikutnya (baca= ajang motivasi diri).

Pada akhirnya, semua yang berawal dari kelakar akan berakhir sebagai sebuah kelakar. Bahwa saat saya merasa kami, yang terpisah jarak dengan impian, sebagai domba-domba yang tersesat, teman saya menolaknya. Lalu meluruskannya sebagai gembala yang tersesat karena mengejar domba-domba yang tersesat. Tanpa memperpanjang percakapan saya menyetujuinya, dan mengusulkan untuk segera menyatenya jika sang domba tersesat ditemukan.

Lebih jauh saya bersyukur bahwa kami hanyalah gembala, bukan jomblo yang tersesat dan tak tahu kemana arah jalan pulang, seperti kelakar teman saya lainnya dalam sebuah momen percakapan daring yang berbeda. Hehehe..

Bertahan dengan Melupakan

Dalam kacamata biologis, manusia boleh saja dipandang sebagai tak lebih dari susunan tulang dan daging, mamalia bertulang belakang yang memakan apa saja.  Tapi realitanya kehidupan manusia,  hidup kita, lebih rumit dari itu. Cara bertahan hidup kita tak sekedar makan,  berak dan beranak pinak seperti mamalia bertulang belakang lain pada umumnya. Sial  memang,  tapi kita butuh jauh lebih dari hal mendasar untuk hidup yang tak sekedar hidup.

Kita memerlukan lebih banyak variabel untuk tak sekedar hidup. Kita butuh ilmu pengetahuan untuk menuntaskan hasrat keingintahuan,  kita butuh seni untuk meng-alami keindahan, kita butuh hukum untuk mencapai kesepakatan dan ketertiban,  kita butuh spiritualitas untuk menggapai sesuatu yang tak kita pahami, dan lebih dari itu kita juga butuh lupa untuk melawan kenangan. Siapapun boleh menambah daftar kebutuhan hidup tersebut sesuai dengan minat dan kebutuhannya sendiri,  hanya saja dalam tulisan ini saya sedang terpantik mengulik soal “lupa”.

Bagaimanapun daya ingat kita sangatlah terbatas. Apalagi jika diduelkan dengan peradaban informasi yang bergerak teramat cepat dan melimpah ruah. Informasi dari TV,  koran,  sosial media,  portal berita online, sejarah, percakapan keseharian, pelajaran sekolahan,  tugas-tugas kantor,  daftar kebutuhan belanjaan, hari-hari besar (ulang tahun,  hari pernikahan, hari besar keagamaan dll), nama-nama rekan sejawat, ulah dan kebohongan politisi yang menyebalkan,  angan-angan masa depan serta aneka kenangan hidup adalah rentetan singkat dari yang lebih panjang yang menjejali dan membebani daya ingat kita setiap hari, yang sangat mungkin tidak dialami oleh spesies jenis lain di jagad semesta. Jika sedikit saja kita bayangkan bagaimana semua itu bekerja sungguh di luar nalar awam kita. Dan mari biarlah para ilmuwan yang membidanginya yang meneliti dan menjelaskan.

Selain daya ingat yang luar biasa, daya lupa ternyata juga memiliki peran yang tidak kecil dalam kehidupan kita. Bahkan tak berlebihan bila dikatakan bahwa salah satu cara kita bertahan dari ganasnya kehidupan adalah dengan melupakan. Lupa pulalah yang salah satunya membedakan daya ingatan kita berbeda dengan ingatan atau memori komputer, misalnya. 

Sekalipun kadang menjengkelkan, satu sisi lupa mendorong kita kembali menantang kehidupan paska kejatuhan.  Menyembuhkan luka kehilangan. Melapangkan kebuntuan. Katalis lahirnya secercah harapan baru. 

Masyarakat Aceh, misalnya,  bangkit karena mampu melupakan kepedihan mendalam paska bencana tsunami dan bergerak maju. Nelson Mandela melupakan segala deritanya di bawah rezim apartheid dan membangun kembali bangsanya dengan permaafan atas masa lalu. Begitupun jutaan orang sukses dan para pemenang lainnya yang melupakan kekecewaan atas aneka kegagalan sebelumnya.

Mengelola lupa adalah sebuah kecapakan penting yang juga perlu kita kuasai. Sebagaimana diulas di muka,  membanjirnya informasi -yang diantaranya bisa merupakan sampah- bisa-bisa membuat kepala kita penuh sesak. Membebani memori dan menghabiskan energi untuk hal-hal yang tak perlu. Hingga berpotensi menurunkan produktivitas bahkan juga kreativitas kita.

Dalam kadar yang tepat,  lupa bisa menjadi alternatif kecakapan alamiah yang perlu kita asah terus menerus untuk bertahan dalam kehidupan yang tak hanya semakin keras tetapi juga rumit dan kusut.

Soal Kemanusiaan Kita

Dewasa ini kita sedang diramaikan oleh kontroversi penerimaan dan penolakan terhadap gerakan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) di lingkungan akademis -dan masyarakat secara keseluruhan.  Perdebatan tersebut, kemudian, menyasar dan membelok secara lebih spesifik pada persoalan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan kemanusiaan. Konon, eksploitasi atas tubuh serta orientasi seksual seseorang adalah urusan privat dan merupakan bagian lekat dari HAM, dan karenanya pengekangan atas kedua jenis aktivitas tersebut -oleh negara dan masyarakat- menerabas batas-batas hak asasi individual serta berarti juga pengekangan atas nilai kemanusiaan universal. Benarkah demikian?

Orang-orang konservatif (istilah yang dilekatkan oleh mereka yang memuliakan modernitas dan pencerahan ilmu pengetahuan untuk menyebut segolongan lain yang -menurut mereka- “terkungkung” doktrin dan tradisi agama), seperti saya, tak bisa dipungkiri sulit mencerna paradigma sains terkini yang melihat bahwa orientasi seksual itu tak ubahnya kesukaan kita terhadap rasa (manis, asam, atau asin) dan telah terbentuk bahkan sejak dalam rahim -sebagaimana yang berulangkali disampaikan oleh dr. Ryu Hasan (akun twitter milik dokter spesilis bedah syaraf, Dr. Roslan Yusni Hasan, Sp.BS) melalui kicauannya.

Terlebih telah ribuan tahun lamanya, agama mengajrkan bahwa orientasi seksual yang “direstui” Tuhan adalah heteroseksual, kepada lawan jenis. Selain itu, sebagaimana yang saya dan dia yakini pula bahwa sains itu berkembang dan tak menutup kemungkinan adanya penemuan baru, memaksa logika saya mengatakan bahwa penemuan dan keyakinan para saintis tersebut sangat bisa jadi keliru adanya dan pasti bisa ditemukan kebenaran baru yang menolak kebenaran sementara hari ini -sebagaimana pembatalan Pluto sebagai sebuah planet. Selain itu, pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa kesuka atau tidaksukaan terhadap rasa ternyata dapat berubah seiring perkembangan waktu dan pendisiplinan.

Sayangnya, harapan ini tentu bergantung pada kejujuran, keseriusan dan keberpihakan para saintis yang membidangi urusan saraf tersebut untuk terus mengembangkan dan melanjutkan penelitiannya. Dan melihat kenyataan bahwa para ilmuwan hebat hari ini kebanyakan adalah mereka yang memisahkan jauh-jauh antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas, seketika harapan tersebut terasa seperti omong kosong. Belum lagi jika dihadapkan pada keberpihakan para donatur yang bisa jadi memiliki kepentingan lain. Bagaimanapun naif kiranya jika kita meyakini bahwa ilmu pengetahuan, di dunia yang pragmatis dan kapitalis,  hari ini benar-benar bebas nilai. Atau mungkin saya pribadi yang terlanjur konservatif sehingga terlalu menaruh curiga terhadap apapun yang tak selaras dengan doktrin agama yang saya pahami.

Dalam momen seperti inilah baru saya sadari bahwa jihad dalam meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi seorang yang meyakini kebenaran agama adalah lebih penting dari pada jihad mengangkat senjata. Dan orang-orang seperti Ibnu Sina, Al Biruni, -bahkan Habibie- dll -yang mengabdikan diri pada Tuhannya melalui pengembangan ilmu pengetahuan di samping menjalankan ritual agama- tentu saja, jika telah meninggal, adalah seorang syahid yang memiliki tempat istimewa di surga, wallahu’alam.

Namun demikian, secara pribadi kita tak perlu memusuhi para pelaku LGBT, bagaimanapun mereka tetaplah manusia yang bertujuan mencari kebahagiaan. Bahkan dalam kisah -yang diyakini oleh umat muslim- Nabi Luth pun tidak memerangi kaumnya secara fisik. Justru berupaya secara persuasif dan penuh kebijaksanaan  “meluruskan” kembali orientasi seksual sesuai fitrah dengan “menawarkan” putri-putrinya (untuk dinikahi para lelaki penyuka sesama jenis). Sementata itu, yang patut lebih diwaspadai adalah LGBT sebagai gerakan massif dan upaya memasyarakatkannya sebagai gaya hidup kekinian.

Kembali pada problem kemanusiaan kita hari ini, HAM seringkali dijadikan alat propaganda dan satuan dasar pembenar dari kepentingan-kepentingan tertentu. Kenyataannya mereka yang berteriak paling keras soal penegakan HAM, seringkali justru menjadi pelanggar terbesarnya. Sebut saja, misalnya, Amerika yang hampir selalu terlibat dalam peperangan di dunia yang banyak memakan korban masyarakat sipil, perempuan dan anak, mulai dari genosida dua kota di Jepang (Hiroshima dan Nagasaki), dukungan terhadap pendudukan Palestina oleh Israel, campur tangan yang mengakibatkan perang tak berkesudahan di Timur Tengah, dukungan terhadap bercokolnya rezim orde baru di Indonesia, dukungan terhadap rezim antidemokrasi dan HAM di Arab Saudi, dll. Belakangan bahkan negara-negara Eropa (Jerman, Finlandia, Swedia, Perancis, Norwegia dan Inggris) berencana mengadopsi perundangan guna merazia dan menyita harta serta barang berharga milik para pengungsi Suriah -bahkan setelah penderitaan mereka yang telah begitu panjang dengan bertaruh nyawa mengarungi lautan, berjalan bermil-mil, kehilangan sanak saudara dan tanah air, serta bertaruh pada masa depan yang tak pasti- sebagaimana telah diterapkan lebih dulu di Denmark, dengan tujuan pengusiran secara halus para pengungsi (Jawa Pos, Minggu 7/2/2016). Ada pula pelarangan wanita-wanita mengenakan jilbab di tempat umum, yang terkini di Bosnia. Nyatanya, HAM dan kemanusiaan universal seringkali hanyalah sebatas retorika.

Lalu bagaimana dengan kita? Secara normatif, seharusnya negara kita menegakkan HAM dan kemanusiaan sesuai dengan bingkai nilai pancasila, sebagai landasan filosofis kehidupan bernegara. Dimana keadilan sosial dan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab haruslah didesain selaras dan mendasarkan pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai sila tertinggi. Bukan HAM dan kemanusiaan hasil konsep dan pemikiran bangsa lain yang boleh jadi bertentangan dan menggilas nilai luhur pancasila.

Bagaimanapun hingga hari ini pancasila masihlah merupakan konsensus bersama yang menyatukan kebhinekaan bangsa. Sekalipun belum sepenuhnya dirasakan implementasinya, penyimpangan terhadapnya, apalagi secara sengaja oleh negara, berpotensi menjadi ancaman gejolak disintegrasi yang serius. Karena itu pula, wajar dan sepantasnya bila negara atau pejabat negara menolak memberikan fasilitasi dan dukungan terhadap gerakan yang tidak sesuai nilai kemanusiaan pancasila,  termasuk gerakan LGBT ini. Apalagi jika sampai melegalkannya, bisa menimbulkan kekacauan yang lebih luas.

Dengan tidak melegalkan pernikahan sejenis, bukan berarti negara sedang melakukan diskriminasi. Justru hal ini perlu dipandang sebagai penegakan nilai-nilai pancasila yang menjadi landasan kehidupan bernegara dan wujud dari karakter dan jati diri bangsa.

Di sisi lain, akan lebih baik jika negara -dan para pemuka agama- berperan aktif mengambil peran progresif, setidaknya menginisiasi atau bahkan mendanai penelitian-penelitian medis dan psikologis, melalui universitas-universitas negeri ataupun lembaga penelitian lainnya, untuk terus menggali kemungkinan-kemungkinan ilmiah lain yang lebih solutif ketimbang sekedar melarang, mengutuk dan memerangi.

Keberagamaan Kita dalam Sosial Media

Perkembangan dunia digital membawa arus perubahan demikian derasnya pada kehidupan manusia secara hampir keseluruhan. Tengok saja laku keseharian kita yang makin tak bisa dijauhkan dari perangkat gadget dan segala fasilitas yang melekat padanya.

Digitalisasi segala aktivitas sekarang ini memang sungguh di luar bayangan dan begitu mengesankan. Apapun kini bisa dilakukan dalam perangkat berukuran mini yang tak lebih dari genggaman tangan. Mulai dari mengobrol jarak jauh -bahkan dengan tidak hanya satu orang, aktivitas jual beli yang bahkan tak saling bertemu dan mengenal satu dengan lainnya, bertukar pengetahuan dan opini secara terbuka dan tanpa biaya, mengakses berita dan peristiwa terkini dari tempat-tempat yang tak pernah terpikirkan bahkan memesan ojek. Kerja dan inovasi para developer aplikasi digital itu benar-benar sungguh sangat brilian dan berpengaruh.

Begitu lekatnya dunia digital hari ini bahkan tak jarang dari kita yang benar-benar mengawali detik pertama kehidupan kita di pagi hari, hingga sesaat sebelum mata terpejam malam harinya, dengan  melakukan  kegiatan ritual digital, entah sekedar melirik status sosial media, mengikuti perang atau kuliah online di twitter, percakapan sia-sia di grup whatsapp hingga aktivitas serius lainnya di dalam dunia yang konon maya -lebih fana dari dunia yang fana- ini. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini kita lebih mudah percaya -terpengaruh- pada apa yang kita genggam ketimbang orang tua sendiri.

Digitalisasi aktivitas dan kehidupan keseharian juga tak luput mengubah pola-pola kehidupan keberagamaan manusia -terutama generasi muda sebagai mayoritas pengakses internet di Indonesia. Sebuah konsekuensi peradaban yang tak bisa dicegah oleh siapapun -bahkan Tuhan pun terbukti tak berniat mencegahnya. Segala kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan dunia digital, tanpa disadari telah menggeser pola-pola hubungan sosial dan komunikasi konvensional. Karenanya mau tak mau juga dibutuhkan kebijaksanaan dan etika yang tak konvensional pula untuk mengikuti segala perubahan (kemajuan) ini.

Sayangnya, kita terlanjur hanyut tanpa bekal yang tepat dalam mengarungi arus deras digitalisasi hari ini. Persiapan kita memasuki ruang dan waktu digital tanpa disadari sungguh singkat, buruk dan payah -jika tak mau dikatakan tanpa persiapan sama sekali. Sebagai bukti, kita seringkali menjadi terlalu reaksioner dan terburu-buru dalam mengambil kesimpulan dan tindakan akan sebuah informasi. Seolah tak kuasa memilah banjir informasi yang mendera ruang digital, tanpa sadar bahkan kita seringkali menjadi agen permusuhan, pemecah belah, penyebar kebencian, fitnah, penistaan dan berbagai subjek yang memperkeruh keadaan lainnya. Lebih buruk dari itu semua bahkan kita tak memperoleh bayaran sepeserpun atas kerja-kerja efektif dalam menciptakan kegaduhan dan kesimpang-siuran yang rentan ditunggangi kepentingan-kepentingan tak kasat mata.

Di sisi lain, seringkali kita lupa bahwa kehidupan keberagamaan kita tidak hanya terlokalisir pada aktivitas ritual keagamaan. Laku dan perangai sehari-hari juga menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Tak terbatas hanya dalam dunia material melainkan tentunya juga digital. Dalam arti bahwa nilai dan ajaran luhur keagamaan tidak bisa kita tanggalkan begitu saja dalam pergaulan digital kita.

Sebut saja, misalnya, sifat rendah hati yang semakin kita lupakan dalam bersosial media. Dalam berkomentar atas opini, peristiwa ataupun perilaku seseorang, tak jarang kita terlalu sinis dan menyudutkan pihak-pihak yang tak seiring tanpa pembuktian yang sahih dan argumen-argumen bernas serta rasional, alih-alih justru kata-kata kasar yang menyerang pribadi bahkan cenderung rasis yang dikedepankan. Tanpa malu-malu kita menjadi begitu agresif dan berdarah dingin. Semacam singa dalam diri kita telah mengaum dan kapan pun sedia menerkam apa saja yang tak sependapat dan satu selera dengan pemahaman kita.

Sharing informasi bertendensi, menyesatkan, fitnah dan menyerang pihak-pihak lain secara telanjang, tidak dewasa dan emosional juga tak jarang kita jumpai belakangan. Entah bertema sosial, politik dan terutama beraroma agama, yang sejenis ini rupanya lebih cepat menyebar dan berkembang ketimbang jenis lain yang lebih bermanfaat dan berguna. Laksana setiap diri kita sedang mengemban risalah suci yang harus secepat mungkin ditegakkan dengan tanpa mempedulikan cara-cara yang tepat dan sesuai dalam menyampaikannya. Terorisme dalam dunia digital sungguh lebih deras, liar tapi tanpa melibatkan darah.

Mengumbar aib orang atau kelompok lain juga menjadi bagian tak pernah terlewatkan. Dengan dalih kebebasan berpendapat dan tradisi berpikir kritis, seolah-olah kita sedang merasa puas jika berhasil menunjukkan kegagalan atau kekeliruan pihak-pihak tak seirama, sekali lagi tanpa disertai penguasaan permasalahan yang cukup, argumen mendalam tetapi justru lebih kental bumbu kebencian. Dan saat kita tengah asyik melakukannya, tanpa sadar nalar dan pemikiran kita berangsur-angsur mengalami pendangkalan.

Lebih jauh lagi yang mulai dilupakan adalah bahwa keterlibatan kita dalam sosial media adalah untuk bersosialisasi, menememukan kembali teman sepermainan, merajut jaring pertemanan baru ataupun mengembangkan relasi-relasi bisnis ke depan, bukan untuk mencari musuh dan permusuhan.

Kehidupan beragama tentu menuntut kita meyakini sepenuh hati bahwa apa yang kita yakini adalah paling benar. Tetapi seberapa yakin kita bahwa kebenaran itu sesederhana pengetahuan kita sendiri? Bukankah kebenaran, pengetahuan, dan ilmu Tuhan tak pernah cukup dituliskan bahkan bila seluruh cairan di bumi ini dijadikan tinta dan seluruh batang pohon dijadikan kertasnya -sekalipun ditambahkan sebanyak itu lagi? Lalu mengapa seringkali kita bisa demikian congkak dalam bersosial media? -bahkan saat kita begitu pengecut dalam menghadapi realitas. Entahlah.

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑