Cari

Ruang Sunyi

Museum Tanya, Tawa dan Semesta yang Lekas Terlupa

Pseudo Intelektual

Perkembangan teknologi yang demikian pesat, terutama terkait dengan teknologi distribusi informasi, perlahan terasa telah sedemikian rupa menggeser mayoritas sel-sel kehidupan sosial kita sehari-hari. Parahnya perubahan itu sekalipun ada dampak positifnya, tetapi justru terasa lebih kental eksesnya.

Memperoleh dan menyebarluaskan informasi kini memang hanya cukup melalui ujung jari. Hanya dalam satu tarikan  nafas saja, kita mampu mengetahui peristiwa-peristiwa paling aktual di kampung-kampung dunia mana saja melalui portal-portal berita dalam jaringan (online). Bahkan tampilan makan siang yang ada di depan meja makan kita pun seketika bisa diketahui oleh kawan kerabat hingga mancanegara.

Dalam pusaran arus informasi yang serba kilat seperti itulah kini lahir generasi-generasi pseudo intelektual alias intelektual palsu. Para intelektual palsu inilah yang belakangan menjadi pemicu debaran jantung dan memaksa kita lebih cepat tua karena seringkali membuat dahi berkerut.

Adalah fakta bahwa dalam ruang tanpa batas yang kita kenal dengan internet saat ini, setiap orang bisa saja menjadi “ahli” dalam waktu singkat. Ribuan informasi berserakan yang bila sedikit saja mau berkeringat untuk memungut, menghimpun dan memelajarinya,  bisa menguasai bidang apa saja yang kita inginkan.

Misalnya untuk mahir membuat puding, kita bisa mencari ribuan tips dan trik membuat puding yang dibagikan secara cuma-cuma di dunia maya. Asalkan mau tekun belajar dan mencoba dengan serius tidak mustahil jika kita menjadi pembuat puding paling enak di tingkat kecamatan dalam waktu satu-dua hari. Begitu pula untuk menjadi ahli pijat, ahli membuat furniture, ahli memasak ayam goreng atau pun beraneka ragam keahlian teknis lainnya.

Celakanya premis tersebut seringkali tidak berlaku untuk bidang-bidang keilmuan yang sifatnya abstrak, ruang lingkupnya luas dan substansinya mendalam. Seperti agama misalnya.

Setidaknya, untuk menjadikan orang awam “berevolusi mental” menjadi dan benar-benar layak disebut ahli dalam bidang agama dibutuhkan pergulatan yang intens, pengujian yang ketat dan legitimasi dari ahli lainnya atau peer group.

Tetapi sebagaimana laju arus informasi yang tak terbendung, agaknya begitu pula tumbuh suburnya intelektual palsu di bidang agama yang tidak memiliki otoritas keilmuan yang dapat dipertanggung-jawabkan.

Fenomena ini sangat mencolok mata pada perilaku mereka-mereka yang suka mengolok-olok kelompok lain yang tidak sepaham padahal tidak tahu-menahu duduk permasalahan, menyebarluaskan konten berita tanpa kaidah jurnalistik yang jelas dan lebih bermuatan fitnah atau mendiskreditkan, debat kusir mengkritisi hingga menjustifikasi masalah-masalah di luar bidang keilmuan para komentatornya atau bahkan menyalahkan secara membabi buta pihak-pihak tertentu yang justru lebih memiliki otoritas keilmuan dibanding dirinya sendiri.

Sungguh miris sekaligus memprihatinkan melihat kecenderungan-kecenderungan di atas semakin meningkat diantara generasi muda saat ini. Hanya bermodal membaca satu-dua artikel yang tidak jelas sumber dan kebenaran kontennya, banyak yang tanpa tahu malu menyesat-nyesatkan profesor yang bertahun-tahun  berkecimpung dan menyelami bidang tafsir kitab suci. Betapa konyolnya.

Belajar agama memang tidak sesederhana membuat puding, butuh pergulatan dan pendalaman bertahun-tahun bukan hanya untuk sekedar memperkaya pengetahuan keagamaan tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai agama kedalam perilaku sehari-hari hingga denyutan jantung terakhir.

Agama tentu bukan diturunkan ke bumi untuk sekedar menghakimi dan menghukumi, melainkan juga sebagai penerang jalan bersama-sama, yang sinarnya sangat berlebih untuk menyinari seluruh makhluk tanpa perlu saling berebut atau saling mengalahkan.

Surga yang luasnya melebihi jarak antara bumi dan langit itu akan sepi dan monoton kiranya hanya dihuni oleh satu-dua kelompok yang seragam. Bukankah demikian?

Kembali Pulang

Sepuluh bulan begitu saja melesat tanpa terasa. Sejauh itu pula saya telah pergi meninggalkan keintiman di rumah ini. Kesibukan, kemalasan, kejenuhan dan kejumudan pikir serasa kompak membangun persekongkolan untuk meminggirkan saya dari mahligai kemesraan yang telah terbangun selama tiga tahun belakangan. Selama itu pula, diam-diam terbit kerinduan dalam ufuk hati saya yang terasa semakin mengental, lalu memaksa untuk kembali pulang ke rumah saya di sini. Rumah yang reot dan penuh omong rada kosong.

Latar belakang pendidikan dan pekerjaan rupanya telah menyihir jalan pikir, imajinasi dan kehidupan harian saya hingga membuat otak udang di batok kepala ini terus menerus tenggelam dalam wacana politik tanpa akhir. Menempatkan diri saya seolah sebagai “nabi” yang membawa risalah dan pesan suci untuk senantiasa meluruskan segala kebobrokan, kebencian, kepalsuan, kegetiran dan tetek bengek lainnya yang saya sendiri hingga detik ini tak pernah paham untuk siapa. Toh, segalanya tetap saja mengalir tanpa sedikitpun terpengaruh kuasa tangan saya yang lemah dan berlumpur ini.

Namun demikian, melegakan juga rasanya menyadari betapa naif saya selama ini. Rasanya seperti baru saja terbangun dari tidur panjang tanpa mimpi-mimpi indah. Karenanya untuk merayakan momen tak diharapkan ini saya memutuskan untuk tidak malu-malu mengasihani dan menertawai kedangkalan diri saya sendiri. Saya pikir penting dan perlu sesekali kita mengasihani dan menertawakan diri sendiri. Ketimbang akhirnya ditertawakan atau -amit-amit jabang bayi- sampai menjadi objek belas kasihan orang lain.

Dalam perayaan kepulangan ini, saya mencoba membawa angin baru yang semoga terasa lebih segar di “rumah kontrakan” sederhana sekaligus pengap ini. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk dahaga dan syahwat pribadi saya sendiri agar semakin mencintai persetubuhan di ruang yang sunyi dan tidak suci ini. Selain juga sebagai bentuk pengharapan tak terukur dalamnya agar terjadi lompatan gaya bertutur dalam membuang unek-unek dan gagasan yang semakin waktu berlari terasa semakin membusuk di dalam cangkang tengkorak yang volumenya tak seberapa besar ini. Saya memang tidak bertekad untuk meninggalkan sepenuhnya hal-hal yang lalu.Tetapi lama-kelamaan bosen juga jemari ini menjalani ritual penulisan artikel yang belakangan baru terasa kaku, serius, berat dan tidak cool. Pembaruan dan ekspansi kecakapan diri saya pikir perlu untuk terus di asah, terutama dalam wilayah yang kita tekuri.

Dalam kompleksitas dan absurbditas yang berantakan itulah saya kembali menyapa rumah ini. Mencoba mendekorasi ulang suasana kebatinan yang telah lebih dulu menyelimuti segala perkakasnya dengan keyakinan yang baru. Dan -berharap- kembali menghidupkan keceriaan di dalamnya dengan segenap kejujuran dan keterbatasan saya sebagai manusia yang, konon, tercipta dalam ketergesa-gesaan dan perasaan yang senantiasa gelisah. Salam.

Tragedi Memilih Kapolri

Calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Jokowi tersangkut masalah hukum. Hal ini tentu bukan saja mengagetkan -sekaligus menampar muka- Presiden seorang, tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.

Masih terang dalam ingatan kolektif kita bahwa selama masa kampanye pencalonan presiden, Ir. Joko Widodo selalu nampak bersemangat dalam menyampaikan janji politiknya untuk memilih pejabat bersih -terutama dalam bidang hukum. Setelah cukup mengecewakan publik dalam memilih Menteri Hukum dan HAM serta jaksa agung -yang berlatar PDI Perjuangan dan Partai Nasdem- petaka muncul saat KPK beberapa waktu lalu merilis status sebagai tersangka atas nama Komjen Budi Gunawan yang merupakan calon satu-satunya Kapolri dari pemerintah.

Kecemasan publik memang telah menyeruak sejak munculnya nama Budi Gunawan yang ditengarai terlibat sebagai pemilik rekening gendut di jajaran kepolisian yang pemberitaannya timbul dan kemudian tenggelam dalam sekejap beberapa waktu silam. Namun agaknya kedekatan jenderal bintang tiga dengan ketua partai berlambang banteng gemuk tersebut membuat presiden “kehilangan alternatif lain”.

Pengusulan nama Budi Gunawan sendiri memang tidak biasa. Jika sebelumnya Presiden merangkul KPK dan PPATK dalam merekrut calon menteri, pemilihan calon Kapolri justru terkesan sunyi. Padahal publik sempat dibuat sumringah dengan adanya tradisi baru dalam memilih pejabat politik dengan terlibatnya KPK dan PPATK dalam mengurai rekam jejak orang-perorang. Selipun, toh, dalam proses seleksi kabinet masih menyisakan pekerjaan rumah bagi KPK untuk menuntaskan janjinya akan menciduk calon-calon menteri yang ditandai stabilo warna merah dan kuning.

Kini bola panas telah bergulir. Dengan melihat track record penanganan kasus di KPK sulit rasanya untuk menilai ini sebatas peristiwa politik. Sekalipun tidak bisa dipisahkan sama sekali, tetapi citra KPK sebagai lembaga yang “tak pernah keliru” menangani kasus membuat citra pemerintah mulai “bopeng”.

Jika pemerintah tidak pandai mengelola situasi dan sumber-sumber kekuasaan yang ada, peristiwa ini dapat menjadi titik balik bagi kepercayaan publik terhadap mimpi pemerintahan bersih (good governance) yang dijanjikan presiden sebelumnya di satu sisi dan citra Presiden sendiri di sisi lain.

Tak bisa dipungkiri bahwa tragedi ini memiliki potensi dalam membangkitkan kembali persepsi bahwa di atas presiden masih ada yang lebih berkuasa -bahkan terhadapnya. Kampanye hitam yang menyebut sebagai calon presiden boneka bisa mendapatkan momentum dan aktualitasnya di mata masyarakat. Semoga tidak demikian. Wallahu’alam bi al Showab….

Menolak Ingat!

“Perjuangan politik” kata Milan Kundera “adalah perjuangan menolak lupa.”

Akhirnya subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dicerabut sedemikian rupa oleh rezim berkuasa pada Senin malam (17/11/2014). Bensin yang semula berbiaya 6.500 rupiah per liter segera meroket menjadi 8.500 rupiah. Sementara solar kini seharga 7.500 rupiah per liter, naik 2000 rupiah sebagaimana bahan bakar fosil yang disebutkan pertama tadi. Padahal, harga minyak di pasar internasional sendiri sedang merosot tajam saat ini.

Penguasa berdalih bahwa subsidi BBM sangat membebani anggaran negara selama ini. Bila dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, rupiah yang “dibakar” untuk menanggung subsidi BBM selama lima tahun belakangan, disebut-sebut dapat digunakan untuk membangun 1400 bendungan. Secara matematis, pernyataan tersebut bisa jadi tidak keliru, hanya saja statement ini menjadi menggelikan bila ditarik ke belakang bahwa selama satu dasawarsa terakhir ini partai penguasa dan Sang Penguasa sendiri konsisten selalu menolak kenaikan harga BBM, bahkan saat harga BBM internasional naik sekalipun.

Kenyataan ini menjadi pukulan yang sangat mengejutkan bagi banyak kalangan, terutama bagi kelas menengah ke bawah yang hidup dan kehidupannya bahkan sudah keteteran untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan di hari ini saja. Karena bagaimanapun, kenaikan harga BBM tidak saja akan menambah pengeluaran bagi pemilik kendaraan pribadi, tetapi juga pada mereka yang bahkan tidak keluar rumah seharian.

Ibarat katrol, harga BBM sangat berpengaruh terhadap kestabilan harga barang lainnya. Kenaikan harga BBM, suka atau tidak suka, akan selalu diikuti oleh kenaikan harga barang-barang konsumsi lainnya, terutama sembako yang menjadi kebutuhan primer masyarakat. Sementara tidak ada jaminan bahwa meningkatnya biaya hidup ini akan diikuti oleh meningkatnya pendapatan masyarakat dalam waktu dekat. Wajar bila masyarakat “menjerit” atas kebijakan yang dinilai kurang bijak untuk kondisi saat ini.

Pagi Kedelai, Sore Tempe

Politik memang selalu dinamis. Perubahan konstelasi dan kepentingan jangka pendek menjadikan pergerakan kekuasaan selalu fluktuatif dan cair. Namun, di sisi lain, tetap saja konsistensi antara perilaku (kebijakan) dan perkataan (janji) seorang penguasa akan selalu aktual dalam ingatan kolektif khalayak luas.

Masih kental dalam ingatan publik bahwa selama masa kampanye lalu, sang presiden terpilih selalu berdalih bahwa koalisi yang dibangunnya adalah tanpa syarat (tanpa motivasi berbagi kekuasaan), bahwa perampingan kabinet adalah keharusan, bahwa penyusunan kabinet berbasis kompetensi dan profesionalitas, bahwa trisakti akan menjadi dasar pembangunan, bahwa penguatan penegakan supremasi hukum menjadi prioritas dan bahwa masih banyak “angin sorga” lain yang dijanjikan sekarang ditunggu masyarakat untuk direalisasikan.

Sebagai sosok yang bahkan dipuja majalah Time sebagai “A new hope”, Presiden Jokowi memanggul beban kepercayaan dan harapan yang sangat tinggi dari masyarakat (baik yang memilih ataupun yang tidak memilihnya). Namun, belakangan harapan yang baru itu nampaknya mulai pudar seiring kebijakan-kebijakannya yang nilai mengecewakan banyak pihak. Hanya dalam satu bulan kepemimpinannya, kepercayaan masyarakat terhadap presiden bahkan mulai terjun bebas diangka 44,94 persen, menurut survey Lingkaran survei Indonesia.

Setidaknya, ada beberapa kebijakan presiden yang bertolak belakang dengan ekspektasi publik berkaitan dengan janji kampanyenya. Pertama, batalnya perampingan kabinet. Sebagaimana diketahui bahwa akhirnya kabinet tetap memaksimalkan 34 kursi sebagaimana kabinet sebelumnya sekalipun berbeda nama dan nomenklatur di beberapa posisi.

Kedua, pengisian kursi kabinet yang tidak cukup memenuhi harapan publik. Sekalipun telah melibatkan banyak unsur dalam penyusunan kabinet (mulai dari poling warga negara, KPK dan PPATK), nama-nama menteri pengisi jajaran kabinet banyak diragukan oleh masyarakat terutama pengamat. Kuat kecurigaan terkait munculnya nama-nama titipan elite politik yang sulit ditolak dan mempengaruhi independensi serta hak prerogratif presiden. Padahal jauh-jauh hari janji “tanpa syarat” dan kabinet profesional selalu digaungkan.

Ketiga, kecurigaan bahwa konsep trisakti yang hanyalah lip service. Kehadiran dan keikutsertaan Presiden Jokowi di dua forum internasional beberapa waktu lalu menjadi sorotan khalayak luas. Selain penggunaan bahasa inggris berlogat jawa medok, perhatian juga mengarah pada pesan yang disampaikan Presiden di forum APEC di Beijing dan G20 Summit di Brisbane. Di kedua forum tersebut Presiden selalu menekankan bahwa Indonesia siap membuka pintu secara lebar -dan akan menyiapkan karpet merah- untuk masuknya investor asing ketimbang memperjuangkan produk dalam negeri untuk masuk dan bersaing ke pasar asing. Hal ini dipandang berkebalikan dengan janji penerapan trisakti yang mengedepankan kemandirian ekonomi bangsa.

Bahkan sekembalinya dari kedua forum tersebut Jokowi langsung mengumumkan pencabutan subsidi BBM sebagaimana disinggung di muka. Bukan rahasia lagi, sekalipun saat ini lebih banyak ditutup-tutupi, bahwa penghapusan subsidi adalah salah satu syarat yang seringkali diminta untuk dapat mendatangkan investor.Selain tentunya adalah penghapusan proteksi perdagangan dalam negeri, infrastruktur yang memadai, pemerintahan dan birokrasi yang bersih dan tidak berbelit, penyediaan tenaga kerja murah, privatisasi BUMN, insentif perpajakan dan akomodasi membanjirnya tenaga kerja ekpatriat. Sebagaimana yang selalu diperjuangkan oleh kaum neoliberal. Membuka diri untuk investasi asing memang bukan sesuatu yang mutlak keliru. Hanya saja kepentingan nasional harus tetap menjadi prioritas yang dikedepankan, alih-alih menegakkan kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa. Sebagai bangsa yang besar, negara ini harus bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara manapun di dunia. Terlebih harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan malah menjadi pelayan yang bekerja untuk kesejahteraan orang asing.

Keempat, penunjukan jaksa agung baru yang berlatar belakang politisi. Penunjukan politisi Partai Nasdem, H. M Prasetyo sebagai jaksa agung sangat mengejutkan sekaligus mengecewakan banyak pihak. Dengan latar belakang sebagai politisi, dikhawatirkan jaksa agung baru tidak bisa bekerja secara maksimal dan independen karena terjerat kepentingan politik. Sehingga penegakan hukum akan kembali rawan dipolitisasi. Bahkan ketua KPK, Abraham Samad yang dikenal dekat dengan Presiden Jokowi pun, turut mengeluarkan komentar bernada kekecewaan. Hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya transaksi kekuasaan diantara partai-partai pendukung pemerintah. Bahwa terdapat tekanan politik kepada Presiden Jokowi dalam menentukan pejabat-pejabat yang memiliki posisi strategis dalam negara.

Baru sebulan saja roda pemerintahan ini berputar, tetapi nampaknya sudah banyak inkonsistensi yang sengaja dilakukan rezim berkuasa. Padahal, merujuk syair WS Rendra bahwa “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”, menjadi sangat ironis bila rupanya “petugas partai” yang lahir dari rahim partai yang dalam namanya melekat kata perjuangan justru tidak lurus antara perkataan dengan kebijakannya.

Last but not least, mengingat bahwa masalah (problem) adalah ketika harapan (hope) tidak sesuai dengan kenyataan (reality). Tidak sepantasnyalah apa yang sudah menjadi harapan baru (a new hope), justru berpotensi menjadi masalah baru (a new problem) bagi masyarakat. Bila rezim penguasa saat ini memang sengaja menolak untuk ingat (janji-janji politiknya), maka rakyat harus berjuang sendiri untuk menolak lupa. Wallahu’alam….

Ancaman Untuk Jokowi

Realitas politik seringkali tak jauh berbeda dengan pertarungan di meja catur. Setiap langkah adalah bagian dari strategi besar baik untuk bertahan ataupun menekan lawan.

Terlebih dengan semakin menguatnya polarisasi kekuatan politik ke dalam dua kutub berseberangan, pertarungan politik menjadi semakin keras bahkan menjurus kasar. Strategi dan manuver politik bakal semakin dipertaruhkan dalam menentukan dominasi kekuasaan selama lima tahun ke depan.

Keberhasilan Koalisi Merah Putih (KMP) dalam menyapu bersih posisi kepemimpinan legislatif (DPR dan MPR) berpotensi menjadi ancaman nyata bagi roda kepemimpinan Jokowi-JK yang diusung oleh aliansi partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesa Hebat (KIH). Bahkan secara mengejutkan Hasyim Djoyohadikusumo, petinggi Partai Gerindra sekaligus adik Prabowo Subianto, secara terbuka “mengancam” Jokowi bakal membayar mahal pencalonannya sebagai presiden beberapa waktu lalu.

Perseteruan yang ditunjukkan Hasyim kepada Jokowi sendiri bukanlah pertama kali saat ini. Sebelumnya Hasyim bahkan pernah menagih kembali dana pribadinya yang konon dipakai Jokowi selama kampanye sebagai Gubernur DKI pada 2012 lalu.Sekalipun hal ini telah dibantah oleh Jokowi dan timnya bahkan oleh Ahok -yang saat itu masih tercatat sebagai kader P. Gerindra. Manuver atas kekecewaan kubu Gerindra yang pertontonkan secara kasar oleh pernyataan-pernyataan kontroversial adik mantan menantu penguasa orde baru itu, bagi penulis, bukanlah ancaman sesungguhnya bagi kursi kepresidenan Jokowi kelak. Ada hal lain yang perlu lebih diperhatikan oleh mantan Walikota Solo itu.

Bahaya Laten

Berkaca pada pengalaman dan realitas politik yang telah terjadi, adalah kubu Partai Demokrat yang justru dapat menjadi batu sandungan bagi rezim Jokowi nanti. Sebagai pemenang dua kali pemilihan presiden secara langsung, SBY, harus diakui masih merupakan politisi yang memiliki kemampuam bermanuver paling matang diantara elit politik yang “bertikai” saat ini.

Aksi walk out fraksi demokrat yang disusul dengan terbitnya Perpu no 1 Tahun 2014 tentang pilkada beberapa waktu kemarin sejatinya adalah sebuah “kemenangan” tersendiri bagi partai bergambar bintang mercy ini. Selain berhasil menyelamatkan citra pribadinya di mata masyarakat yang sempat tercoreng oleh ulah seporadis para netizen melalui aksi #ShameOnYouSBY, sekalipun masih sementara perpu itu juga telah berhasil mengegolkan 10 agenda Partai Demokrat di sisi lain.

Dengan bekal pengalamannya sebagai jenderal taktis di dalam tubuh militer, SBY memiliki kemampuan manuver bergerilya yang dapat mendikte dan menciptakan permainannya sendiri alih-alih terbawa permainan lawan. SBY konon juga dikenal sebagai figur yang mampu “menggebuk” lawan-lawan politiknya tanpa harus “mengotori” tangannya sendiri selain pandai dalam memanfaatkan momen untuk membangun citra pribadinya.

Dalam kerangka itulah seharusnya Jokowi dan KIH harus lebih berhati-hati dan waspada. Keputusan Partai Demokrat yang konon menyerahkan jatah kursi ketua MPR untuk Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional (PAN) bisa menjadi langkah awal mengusil empuknya kursi kepresidenan.

Sebagaimana diketahui, PAN dibawah kepemimpinan Amien Rais pada waktu itu adalah partai politik yang memiliki pengalaman praktis dalam memakzulkan penguasa -baik melalui kekuatan parlemen ataupun kekuatan di luar parlemen.

Pelimpahan jatah kursi pimpinan MPR bisa jadi merupakan manuver awal bagi P. Demokrat dan SBY untuk “mencungkil” Jokowi dari kursi presiden kelak jika waktunya tiba tanpa harus mengotori tangan sendiri. Sebagaimana yang selama ini banyak ditudukan banyak pengamat bahwa akan kebiasaan “mentung nyilih tangan” atau politik “cuci tangan” yang melekat secara tak kasat mata.

Pembacaan demikian atas realitas politik kekinian tidaklah perlu dipandang berlebihan, dalam meja percaturan politik jegal menjegal bukanlah hal yang ditabukan oleh konstitusi.

Namun yang perlu diperhatikan sebagaimana ungkapan pepatah “dua gajah bertarung pelanduk mati di tengah-tengah”. Persaingan ini berpotensi mengorbankan bidak-bidak catur yang lebih lemah dan sayangnya rakyatlah yang seringkali mengisi peran itu. Wallah’alam……

Mengapa Langsung, Mengapa Tidak

Belakangan publik kembali risau dikarenakan niat mayoritas partai politik di parlemen yang secara “sepihak” ingin memutar haluan pemilihan kepala daerah menjadi seperti di era rezim orde baru.

Ueforia demokrasi langsung yang berangsur telah mendewasakan cara pandang politik masyarakat kini kembali terancam terpasung oleh “kepentingan strategis” beberapa elit partai politik yang bersiasat akan mengembalikan pemilihan ke institusi DPRD.

Bila dilihat kebelakang selama pemilihan kepala daerah secara langsung dilaksanakan sejauh ini, tak bisa dipungkiri masih jauh dari konsep ideal. Pilkada langsung sebagai arena penyelenggaraan kedaulatan rakyat -yang memakan biaya milyaran rupiah- seringkali dicederai oleh praktek jual-beli suara maupun juga korupsi politik yang menjadi turunannya. Tak jarang besarnya ongkos politik yang dikeluarkan menjadi pemicu konflik politik paska pemenang pilkada diketahui.

Mahalnya ongkos politik selama masa pencalonan pun menjadi dalih maraknya kepala daerah terjerat kasus korupsi. Setidaknya hingga bulan mei 2014, data Kementrian Dalam Negeri mencatat sebanyak 325 kepala daerah di Indonesia tersangkut kasus korupsi. Jumlah yang pastinya bertambah jika diakumulasikan dengan jumlah kepala daerah yang korupsi tapi “bejo” karena belum terseret jeruji hukum.

Selain itu, mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada juga sering tidak memperoleh partisipasi sepadan dari masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Rata-rata penggunaan hak pilih dalam sebuah pilkada sejauh ini tidak sampai menyentuh angka 70 persen. Bahkan tak jarang jumlah pemilih di beberapa pilkada terhitung masih di bawah 50 persen sekalipun telah menelan dana puluhan milyar rupiah. Tentu hal ini menjadi salah satu keprihatinan tersendiri terhadap realitas penyelenggaraan pilkada secara langsung.

Namun tak juga bisa dinafikan bahwa belakangan pilkada langsung menghasilkan figur-figur pemimpin visioner dan berdedikasi. Sebut saja misalnya Walikota Surabaya Tri Risma Harini, Walikota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Walikota Pekalongan Basyir Ahmad, Walikota Bogor Bima Arya bahkan presiden terpilih hasil pemilu 2014 pun adalah produk keberhasilan pilkada secara langsung.

Fakta yang diungkap terakhir ini seharusnya bisa menjadi cahaya penerang bahwa sekalipun masih terdapat banyak kekurangan, pilkada secara langsung perlahan sudah berjalan di jalur yang benar. Selanjutnya tinggal bagaimana fungsi penegakan hukum menjadi panglima dan pengawal bagi berlangsungnya proses pematangan demokrasi agar tetap berada di di jalur yang tepat tersebut.

Bagian Nilai-Nilai Sosial

Pelaksanaan pilkada secara langsung pada dasarnya tidak hanya mengubah pandangan politik masyarakat semata. Diyakini atau tidak pilkada secara langsung -sekalipun merupakan pengalaman baru bagi masyarakat- telah banyak mempengaruhi segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Bahkan kini seolah telah menjadi bagian integral dari perilaku keseharian dan diterima sebagai nilai-nilai sosial baru dalam masyarakat.

Pilkada secara langsung bagaimanapun telah menjadi bagian dari kesadaran manusia Indonesia yang terikat bersama dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya masyarakat. Kesadaran yang turut menggerakkan roda mobilitas sosial masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal.

Terlebih dengan jumlah kelas menengah terdidik yang semakin meningkat, mencabut pelaksanaan pilkada secara langsung sama halnya dengan memasung kembali imaji kebebasan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini secara tidak langsung menimbulkan kecurigaan terhadap kebangkitan kembali represifitas kekuasaan negara terhadap warga negaranya. Pengalaman pahit selama 30 tahun kekuasaan rezim orde baru masih kental meninggalkan luka traumatik yang mendalam. Bagaimanapun politik adalah pengalaman dan inilah yang nampaknya sedang mengemuka dewasa ini.

Gelombang protes massa dipastikan akan terus bergulir menentang pembahasan RUU pilkada yang “dipatsikan” akan mengembalikan kuasa DPRD terhadap pemilihan kepala daerah tersebut. Hal ini akan kian memuncak bila RUU kontroversial ini benar-benar disahkan dalam kondisinya yang jauh dari konsep ideal kekinian.

Bukan kekacauan fisik yang menjadi pusat keprihatinan tulisan ini, melainkan pada semakin merosotnya legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi legislatif dan terutama partai politik yang berkecimpung di dalamnya.

Padahal sebagaimana diyakini banyak intelektual, bahwa rumah legislatif merupakan satu dari tiga pilar utama yang menopang kokohnya bangunan demokrasi suatu bangsa. Sedangkan kepercayaan masyarakat terhadapnya adalah material dasar yang mampu menjaga berdirinya pilar tersebut di atas.

Jika kedua hal ini berada pada kutub yang berlainan arah, bangunan demokrasi suatu bangsa sesungguhnya sedang berada dalam kondisi memprihatinkan dan seolah sedang menunggu keruntuhannya. Hal yang tentu tidak siapapun menginginkannya. Wallahua’lam….

Kursi Menteri

Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang diajukan pasangan capres-cawapres no urut 1 (Prabowo-Hatta), kini perhatian publik akan segera mengarah pada kerangka kabinet yang akan disusun oleh sang presiden terpilih.

Jika konsisten dengan janji kampanyenya, Jokowi -sebagai preiden terpilih dan pemilik hak prerogratif- akan menunjuk orang-orang profesional yang tidak meangkap jabatan struktural dalam sebuah partai politik. Hal ini akan mengubur dalam-dalam tradisi politik “dagang sapi” yang selama ini menjadi primadona strategi politik penguasa sebelumnya  sebagai imbalan dan strategi win-win solution dengan mitra koalisi.

Namun, bukan merupakan langkah yang akan mudah bila presiden terpilih sungguh akan menerapkan langkah mau tersebut. Pasalnya, berdasar pengalaman kepemimpinan SBY-JK di awal periode langkah seperti ini bakal menemui hambatan serius bagi jalannya roda pemerintahan kala itu. Kinerja pemerintah lebih banyak tersandera oleh manuver para politisi di parlemen. Kini, bahkan belum juga menduduki kursi kepresidenan, langkah Jokowi menuju RI-1 terus memperoleh hadangan dari partai-partai non koalisi. Setelah MK menolak, konon persengketaan pilpres akan dilanjutkan ke arena pansus. Semoga saja tidak sampai harus demikian.

Tapi rupanya tak juga cukup sampai di situ, dari dalam kubu koalisi yang dibangun dengan fondasi “tanpa syarat” ini pun kini mulai sedikit timbul gonjang-ganjing. Terutama berkaitan dengan hajat PKB untuk menjadikan ketua umumnya tetap duduk di jajaran kursi kabinet. Sekalipun belum menyeruak ke permukaan, bisa jadi anggota koalisi lainnya pun melakukan manuver serupa “di bawah meja”.

Bukan tanpa alasan, bagaimanapun sebuah partai politik memiliki ideologi dan visi organisasi yang hanya akan efektif berjalan bila didukung oleh lembaga kekuasaan. Dan memang untuk “tugas suci” itulah sebuah partai politik didirikan. Begitu pula tentunya PDI-P -sebagai partai utama pengusung Jokowi- juga memiliki kepentingan demikian. Problematika seperti inilah yang justru akan menjadi batu ujian pertama bagi kepemimpinan Jokowi-JK, bukan terkait postur APBN dan susbsidi BBM sebagaimana yang coba diwacanakan belakangan.

Ketegasan Jokowi untuk tetap berpegang pada komitmen awal menjadi sebuah tuntutan dewasa ini. Jokowi harus mampu menunjukkan kepada publik bahwa dirinya memang tidak dapat diintervensi oleh siapapun, baik kubu mitra koalisi maupun “ibu ideologinya” sendiri (baca: Megawati Soekarnoputri). Jika gagal memenuhi ekspektasi awal ini, bukan tidak mungkin gelar “presiden boneka” akan tebal melekat hingga periode kepemimpinannya purna.

Karena bagaimanapun kualitas pengetahuan politik masyarakat kini semakin meningkat. Dengan berkembang derasnya arus informasi, publik memiliki kesadaran dan ingatan kolektif yang lebih baik terhadap proses dan peristiwa politik yang telah maupun sedang terjadi.

Janji-janji politik yang secara serampangan dilanggar akan tercatat dalam sejarah dan memori kolektif khalayak sebagai sebuah cacat kepribadian, yang saat ini populer dikenal sebagai pencitraan. Dan bukan merupakan hal rumit bagi masyarakat awam sekalipun untuk mengetahui hal-ihwal semacam ini dalam situasi kekinian.

Jokowi perlu berhitung secara matang siapa yang akan mengisi kursi menteri di dalam kabinetnya ke depan. Prinsip perimbangan kewilayahan dan latar belakang ideologi tetap penting untuk dijadikan pertimbangan, selain aspek kemampuan teknis tentunya. Kematangan dan ketegasan dalam berpolitik boleh jadi merupakan kunci guna membuka potensi kebekuan semacam ini. Bagaimanapun kursi menteri merupakan jabatan politis yang beresiko membawa dampak politik pula nantinya. Wallahu’alam…..

Politik Panggung Jokowi

Menarik melihat dinamika politik paska-terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden menurut perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu. Selain gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang terus begulir, kisruh internal di berbagai parpol -terutama internal P. Golkar yang paling kencang bergejolak- serta munculnya portal polling “pemilihan menteri” yang akan mengisi jajaran kabinet Jokowi-JK.

Terlepas dari urgensi dan keseksian isu politik yang berkembang, tulisan kali ini akan lebih “menguliti” sekilas tentang dinamika terakhir yang telah disebutkan di muka. Bukan karena kasus ini lebih menarik secara politis, sekalipun memang demikian adanya, melainkan karena ihwal ini memiliki pengaruh yang lebih terkait hajat hidup orang banyak nantinya.

Kursi menteri pada hakikatnya merupakan jabatan politik yang secara langsung bertanggung jawab terhadap presiden. Menteri sebagai pembantu presiden ditunjuk langsung oleh presiden tanpa intervensi siapapun sebagai pengejawantahan hak prerogratifnya. Pun demikian dalam realitanya, pertimbangan dan kalkulasi politik seringkali menyandera presiden terpilih dalam mengisi jabatan menteri-menterinya.

Kini menjadi menarik manakala Jokowi-JK, yang konon mengusung koalisi tanpa syarat, memenangi kontestasi pemilihan presiden dan dengan segera membentuk tim yang bertugas menyusun jajaran kabinet pembantunya -di tengah proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang menguras energi dan waktu cukup besar di MK. Jokowi-JK bersama timnya mengundang partisipasi masyarakat dalam menjaring calon menterinya. Ini merupakan kali pertama masyarakat luas “dilibatkan” dalam menyusun kabinet oleh presiden terpilih sejak republik ini didirikan.

Politik Panggung

Jokowi memang selalu punya cara untuk menarik perhatian. Melalui ide-ide segar dan kreatifnya, Jokowi -harus diakui- selalu terdepan dalam menciptakan narasi politik kekinian yang mampu menghimpun imajinasi kolektif masyarakat dalam sebuah barisan koreografis sehingga mudah dalam mempengaruhi perspektif dan menarik simpati publik.

Munculnya polling calon menteri ini tentu sedikit bodoh jika dibaca semata-mata sebagai variabel bagi Jokowi untuk menunjuk menteri definitifnya. Sangat tidak masuk akal jika Jokowi yang saat mengisi jajaran struktural birokrasinya saja, selama kepemimpinannya di ibu kota, menggunakan sistem lelang jabatan akan menurunkan kriterianya hanya sebatas popularitas untuk mengisi jajaran kabinetnya.

Terlebih, jauh hari Jokowi telah berkomitmen akan menyusun kabinetnya secara profesional -sekalipun kini artinya diperluas bahwa bukan berarti akan sepenuhnya diisi oleh para teknokrat dan bebas sama sekali dari kader partai politik pengusung dengan alasan bahwa kader partai pun banyak yang profesional. Artinya akan menunjuk orang dengan kesesuaian bidang teknis-serta ideologi-nya dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan pula.

Karena itu akan lebih tepat bila munculnya polling calon kabinet itu merupakan strategi komunikasi politik Jokowi untuk kembali menghadirkan panggung guna membangun narasi politik bersama -untuk merangkul masyarakat banyak yang sempat tercerai berai selama proses pilpres berlangsung. Hal ini secara perlahan akan berguna untuk menguatkan legitimasinya sebagai presiden terpilih dalam menghimpun kepercayaan bahkan kepatuhan publik sekalipun.

Sehingga seandainya kelak Jokowi tak mampu menghindari besarnya tekanan politik partai koalisi dan akhirnya “berkhianat” dengan memasukkan kader atau bahkan ketua partai koalisi pengusungnya sebagai menteri dirinya telah memiliki dalih yang -dengan terpaksa- bisa diterima publik tanpa menimbulkan kegaduhan dan resistensi berlebihan. Saat ini saja, misalnya,  mulai muncul riak-riak tekanan dari salah satu partai pengusung untuk “memaklumi” berkiprahnya ketua partai dalam jajaran kabinet sebagai bentuk memperjuangan ideologi serta dalam menjalankan fungsi rekrutmen pejabat politik dari sebuah partai. Secara politis memang hal ini sangat wajar, namun secara etis akan bertolak belakang dengan janji dan komitmen Jokowi-JK selama masa kampanye lalu. Dilematika ini akan menjadi batu ujian pertama bagi integritas dan kredibilitas pasangan Jokowi-Jk dalam mengarungi bahtera pemerintahan. 

Bagaimanpun strategi komunikasi politik seperti ini memang sangat identik dengan karakter Jokowi sendiri. Sebagai politisi yang dikenal dekat dan “dicintai” media massa, Jokowi tahu benar bagaimana “membuat berita” melalui panggung politik. Sudah menjadi rahasia umum bila selama aktif bertugas sebagai Gubernur DKI setiap hari Jokowi selalu “dikuntit” -atau mengajak?- awak media. Strategi blusukan Jokowi menjadi tren baru yang bahkan tersohor hingga belahan dunia lain (mancanegara).

Strategi komunikasi demikian ini juga pernah digunakan Jokowi saat memperkenalkan mobil Esemka sebelum maju sebagai calon gubernur DKI beberapa waktu silam. Dimana saat itu berita ini menjadi hits yang terus menerus diputar oleh berbagai media massa lokal maupun nasional. Namun sayang, nasib mobil Esemka itu sendiri kini tak semujur nasib Jokowi. Apa boleh dikata, panggung pasti akan digulung saat pagelaran selesai dan penonton telah dipuaskan. Wallahu’alam….

Capresku, Capresmu, Capres Kita Semua

Dinamika politik jelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 bergerak demikian cepat dan penuh warna. Namun agar tetap di jalur yang positif, dibutuhkan kesadaran dan tindakan kolektif untuk bersama menjaga kepentingan dan keutuhan bangsa dari segala kemungkinan yang dapat memecah belahnya.

Akses informasi yang semakin mudah dan murah menjadi faktor paling berpengaruh dalam mewarnai atmosfer politik bangsa kekinian. Melalui media massa dan social media, masyarakat bisa setiap saat mengikuti perkembangan atau melihat peristiwa politik yang sedang terjadi di setiap pelosok negeri seketika itu juga. Karenanya wajar bila siapapun kandidat yang berkompetisi, berlomba-lomba mendominasi kedua ruang strategis ini. Tak terkecuali dua kubu pasangan capres dan cawapres yang bersaing saat ini.

Sudah menjadi rahasia umum bila beberapa media massa, baik cetak maupun elektronik, kini memiliki keberpihakan terhadap masing-masing pilihan kandidat. Bahkan keberpihakan ini seringkali ditampilkan secara terang benderang. Akibatnya sebuah peristiwa politik seringkali muncul dalam “wajah” yang berbeda bahkan bertolak belakang tergantung di mana diwartakan. Kepentingan politik pemilik media ditengarai menjadi penentu corak pemberitaan (framing).

Laman media sosial pun mengidap hal yang tidak jauh berbeda. Facebook dan Twitter menjadi media sosial paling riuh memperbincangkan pasangan capres dan cawapres. Berbagai propaganda disebar baik oleh tim pemenangan ataupun para pendukung dan sukarelawan. Untuk menguasai percakapan di lini masa, bahkan tak tanggung-tanggung banyak buzzer direkrut dan ribuan akun palsu disebar secara terencana. Beragam isu didesain agar menjadi trending topic.

Tak jarang kemudian apa yang hangat diperbincangkan dalam media sosial –terutama yang menguntungkan- pun dikabarkan dalam pemberitaan media massa. Tujuan akhirnya tentu saja untuk mengarahkan opini publik, baik guna meningkatkan popularitas kandidatnya di satu sisi atau menekan laju elektabilitas rival politik di sisi lain.

Politik Porno

Layaknya dua sisi mata uang, keterjangkauan pertukaran informasi yang dinikmati saat ini juga membawa dampak negatif yang boleh dikata cukup meresahkan. Hal ini dirasakan dengan menjamurnya praktik politik porno yang seakan kian tak terbendung akhir-akhir ini.

Dalam Violence et Politique (1978), Yves Michaud menyebut politik porno sebagai praktik penggunaan kekerasan (fisik maupun simbolis) untuk tujuan politik tertentu. Kata porno sendiri berasal dari bahasa Yunani, porneia, artinya “sesuatu yang tidak senonoh atau vulgar”. Karakteristik politik porno ini nampak pada penggunaan segala cara untuk mencapai tujuan dan kepentingan politik. Tak peduli bilapun harus melanggar norma dan etika, bahkan apabila tak segan merenggut korban sekalipun.

Menengok posisi strategisnya, media sosial dan media massa partisan kerap digunakan sebagai sarana untuk melancarkan serangan politik porno oleh dan untuk pihak-pihak tertentu. Penyebaran fitnah, propaganda, provokasi, demagogi dan penyematan label negatif tertentu kepada lawan politik merupakan bentuk serangan yang paling sering dilakukan untuk menumbuhkan kebencian.

Ruang-ruang publik kini bahkan sudah penuh sesak oleh praktik kekerasan simbolis –kepada kedua kandidat- yang dilakukan secara terencana dan masif. Hal ini sengaja dilakukan untuk menutupi realitas yang sebenarnya terjadi dan menjadikannya sumir. Sasarannya tidak hanya untuk membingungkan orang awam, melainkan juga mengelabui kaum intelektual. Sentimen politik pun dibangkitkan dan dengan sendirinya fanatisme publik akan menyeruak ke permukaan.

Jika dibiarkan semakin liar, kekerasan simbolis seperti ini akan berpotensi pecah menjadi kekerasan fisik yang tentu saja tidak diharapkan. Kasus bentrokan antar pendukung capres di Bantul beberapa waktu lalu semoga adalah untuk kali terakhir dan tidak merembet ke daerah lain. Aksi-aksi seperti ini harus disadari lebih banyak membawa dampak buruk dan tidak ada manfaatnya sedikitpun.

Perlu dicermati pula bahwa dalam beberapa kasus kekerasan simbolis justru bisa jadi tidak dilancarkan oleh rival politik. Melainkan dihembuskan dari dalam kubu sendiri secara diam-diam. Dengan maksud agar terkesan sebagai pihak yang “terdholimi” guna mengundang simpati masyarakat pemilih lebih luas. Cara seperti ini terbukti cukup ampuh dalam pemilu sebelumnya. Atau bisa juga dilakukan oleh pihak-pihak lain –di luar kedua kubu- yang ingin mencari keuntungan dengan memecah belah bangsa.

Masyarakat pemilih perlu lebih selektif dalam menyaring dan menyebarkan informasi serta isu yang berkembang kemudian. Menahan diri untuk tidak menyebarkan informasi palsu sekalipun menguntungkan merupakan tindakan yang lebih luhur dan sportif ketimbang memperkeruh keadaan. Memasarkan capres yang didukung akan lebih elegan bila memperlihatkan capaian prestasi dan kelebihan personalnya tanpa harus menjelekkan capres lain dengan dasar informasi yang digali dari sumber-sumber yang tidak valid.

Sepelik apapun, nalar dan daya kritis harus senantiasa terjaga untuk kelebihan dan kekurangan masing-masing calon. Fanatisme bukanlah “pisau” yang tepat untuk digunakan dalam menilai, mengukur dan menimbang secara objektif “bibit, bebet dan bobot” kandidat ataupun parpol pengusung dibelakangnya.

Karena bagaimanapun kelak tidak lagi penting berbicara “ini capresku, ini capresmu”. Adalah sebuah keniscayaan bahwa di akhir cerita salah satu dari keduanya bakal menjadi presiden kita semua -seluruh masyarakat Indonesia. Wallahu’alam……..

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑